Bagi kita orang katolik, kiamat sering disebut dengan saat parousia. Yaitu saat kedatangan Kristus kembali dalam kemuliaanNya untuk mengadili dunia. Hari kiamat akan menjadi hari Tuhan dan pada waktu itu Kristus akan tampak untuk kedua kalinya. Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus berjaga-jaga dan menunggu dengan sabar dalam menantikan datangnya hari tersebut. Namun kapankah datangnya kiamat tersebut. Siapakah yang tahu, tidak ada dari kita pun yang tahu akan hari kiamat. Hanya Allah Bapa yang mengetahuinya. Yesus pun tidak mengetahuinya kapan datangnya kiamat tersebut.
Namun, ada berbagai dugaan bahwa berbagai masalah dan bencana yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah petanda kiamat. Benarkah itu? 2006 lalu kita mengalami gempa dashyat dan kini ada bencana merapi yang telah membunuh beribu-ribu harapan orang. Rumah, kebun, ternak, suami atau istri, anak-anak hangus karena terkena awan panas. Inikah kiamat? Bagi saya ini bukan kiamat karena dengan situasi seperti ini kita diajak untuk bergabung dengan sesama kita, bahu membahu, membangun dan saling menginspirasikan harapan-harapan baru untuk semakin yakin hidup bersama Allah. Bencana ini entah dikatakan kiamat atau bukan kiamat hendaknya membawa kita untuk bergerak dan melangkah, tidak diam saja karena takut. Bergerak bersama Allah muncul suatu solidaritas bersama yang menderita. Rm. Tom Jacobs pernah menyatakan bahwa kiamat adalah perkara untuk bersatu dengan Allah. Kiamat bukan berarti kehancuran yang membuat kita takut melainkan kebangkitan harapan dan kasih. Kiamat bukan bencana ini atau itu, melainkan habis semuanya dan tak seorangpun dapat menghindari bahwa hidupnya habis.
Kiamat kita sekarang ini bagi saya adalah menghindarnya kita dari solidaritas terhadap orang yang menderita. Habis rasa untuk bersolidaritas dengan sesama. Kristus telah datang ke dunia sebagai suatu bentuk solidaritas Allah terhadap dosa-dosa manusia. Maka, selayaknyalah kita juga berkerja bersama dalam solidaritas tersebut. Beberapa hari lalu saya pergi ke daerah di jalan solo dan pulangnya yaitu sekitar jam 8 malam, parkiran XXI jalan solo masih tetap padat. Artinya saya menyimpulkan bahwa banyak orang menonton bioskop dalam situasi seperti ini. Kemudian saya berpikir, apa yang dipikirkan mereka ketika ada bencana seperti ini di mana mereka masih memikirkan diri mereka sendiri. Yang kuat seharusnya menolong yang lemah dan menderita, itulah bentuk solidaritas. Yang kuat tidaklah menikmati segalanya demi diri sendiri. Bagi saya, inilah kiamat. Kiamat berarti matinya solidaritas kita, habisnya rasa kepedulian kita. Kiamat bukan meletusnya gunung merapi, melainkan makin banyak orang mengurus dirinya sendiri. Padatnya XXI hanyalah satu contoh dan saya pikir masih ada banyak contoh-contoh yang lain.
Yesus berkata, “waspadalah supaya kamu jangan disesatkan”. Percayalah pada Allah, percayalah pada imanmu karena jika “kamu tetap bertahan dalam imanmu, kamu akan memperoleh hidupmu”. Bangunlah solidaritas dengan sesama, bangunkanlah harapan-harapan orang-orang yang lemah dan menderita tersebut dengan uluran tangan kita. Inilah langkah atau gerak kita menghadapi kiamat, untuk hidup bersama Allah. Menghadapi kiamat kita harus penuh harapan, bukan dengan ketakutan.
Dalam sebuah kebijaksanaan cina, harapan dan ketakutan adalah hal yang sama. Keduanya adalah momok, keduanya sama-sama memberatkan. Harapan dan ketakutan sama-sama keluar dari diri kita sendiri dan yang menjadikan harapan dan ketakutan itu menjadi sangat berat ataupun ringan adalah kita juga. Saya punya harapan untuk berhenti merokok sama saja ingin mengatakan saya takut mati muda. Saya punya harapan untuk lulus sekolah sama saja dengan mengatakan saya takut tinggal kelas. Pernyataan harapan dan ketakutan yang demikian hanya keluar dari diri seseorang yang sangat egois, hanya memikirkan diri sendiri. Harapan dan ketakutan dengan demikian hanya akan menjadi suatu lingkaran yang tidak akan pernah selesai. Lao Tzu, sang guru kebijaksanaan, mengatakan janganlah melihat diri sendiri. Lihatlah dunia, lihatlah sesama kita dan segala yang bagus di dunia ini dan kita bisa melakukan apa pada mereka. Kita berharap dengan tidak mementingkan diri kita sendiri. Kita berharap untuk suatu dunia yang harmonis sehingga kita tertantang untuk selalu berbuat baik, untuk semua orang. Ketika kita mulai melihat dunia sekeliling kita, harapan akan terus muncul dan ketakutan akan musnah.
Harapan akan menjadi kekuatan jika kita berani melihat dunia, jika kita memiliki iman untuk berbuat. Kiamat adalah saat kita berharap, bukan untuk ditakuti.
Bangunlah solidaritas untuk sesama kita, dan tinggalkan keegoisan kita. Kiamat bukan saat memelihara diri sendiri melainkan melihat dunia dan semua yang bagus yang terjadi dan bergabung pada yang lain dan yang baru itu. Inilah tanggapan kita atas peristiwa yang menghabiskan hidupku dan hidup kita sebagai suatu bentuk pasrah. Kita punya iman, maka kita mesti berbuat.