Saturday, June 14, 2008

JON SOBRINO, SJ


Jon Sobrino, S.J. (born 27 December 1938, Barcelona, Spain) is a Jesuit Catholic priest and theologian, known mostly for his contributions to liberation theology.

He received worldwide attention in 2007 when the Vatican's Congregation for the Doctrine of the Faith issued a Notification for what they see as doctrines which are "erroneous or dangerous and may cause harm to the faithful."
Born into a Basque family in Barcelona, Sobrino entered the Jesuit Order when he was 18. The following year, in 1958, he was sent to El Salvador. He later studied engineering at St. Louis University, a Jesuit University, in the United States and then theology in Frankfurt in West Germany. Returning to El Salvador, he taught at the Jesuit-run University of Central America (UCA) in San Salvador, which he helped to found.

On November 16 1989 he narrowly escaped being assassinated by the Salvadoran government. By a coincidence, he was away from El Salvador when members of the military broke into the rectory at the UCA and brutally murdered his six fellow Jesuits, Ignacio Ellacuria, Segundo Montes, Juan Ramón Moreno, Ignacio Martin Baro, Amando López, and Joaquín López y López, and their housekeeper Elba Ramos and her 15-year old daughter Celina Ramos. The Jesuits were targeted for their outspoken work to bring about resolution to the brutal El Salvador Civil War that left about 75,000 men, women, and children dead, in the great majority civilians. To symbolize their hatred of the Jesuits' intellectual contributions and commitments to the people of El Salvador, the military operatives quite literally blew out their brains.


Keilahian Yesus Kristus: Komentar atas Notifikasi Jon Sobrino

Beberapa affirmasi dari tulisan Rm. Jon sobrino cenderung mengurangi kedalaman pasal-pasal dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan: (Perjanjian Baru] menjelaskan bahwa Dia “secara mendalam mengikat pada Tuhan, yang berarti bahwa kenyataanNya harus diekspresikan seperti adanya Tuhan (Christ the Liberator, 115). Dalam keterkaitan dengan Yoh 1:1, dia menyatakan: “Seharusnya, Logos ini belum bisa dikatakan sebagai Tuhan (sejalan dengan Tuhan), namun sesuatu diklaim olehnya agar sampai pada kesimpulan yang penting dan mendasar, yaitu penjelmaanNya atau satu dengan Yang Ilahi. Hal ini tidak menandakan sesuatu yang secara murni temporal tetapi terkait padanya akan ciptaan dan mengkaitkan logos dengan tindakan yang berbau ilahi”(Christ the Liberator, 257).  Perjanjian baru tidak dengan jelas menyatakan tentang keilahian Yesus, tapi selalu menetapkan prasangkaan: “Perjanjian Baru… memuat ekspresi-ekspresi benih apa yang akan menghasilkan pengakuan akan keilahian Kristus secara nalar. Semua ini berarti bahwa luar diri Yesus bukanlah Tuhan, bukan juga sebagai yang ilahi; terutama ketika jatuhnya Yerusalem”. Untuk menyokong Yoh 20:28 yang menyatakan bahwa Yesus itu seperti Tuhan merupakan sesuatu yang benar-benar salah, dibandingkan dengan ayat yang mengkaitkan Yesus sebagai “Tuhan” dan “Allah”. Begitu juga dengan Yoh 1:1 yang mengatakan bahwa sabda itu adalah Tuhan. Banyak teks juga mengatakan bahwa Yesus adalah Putra dan Tuhan. Keilahian Yesus telah menjadi sebuah konsern sejak awal Gereja berdiri, hal ini kemudian diproklamirkan dalam Konsili Nicea. Fakta bahwa hal ini tidak digunakan bukan menyatakan bahwa keilahian Yesus tidak dinyatakan secara akal sehat, berbeda dengan yang dikatakan Jon Sobrino. Rm. Sobrino tidak menolak adanya keilahian Yesus ketika ia mengusulkan bahwa hal itu ditemukan dalam Perjanjian Baru hanya sebagai benih dan kemudian menjadi dogma karena telah bertahun-tahun direfleksikan. Namun, ia gagal menyatakan penjelasan keilahian yang sempurna. Ketidakjelasan ini memulai keyakinan pada kecurigaan akan perkembangan sejarah dogma, dimana Sobrimo masih ambigu menjelaskannya, menjadi formula keilahian Yesus tanpa kejelasan yang berkelanjutan dengan Perjanjian Baru. Namun, keilahian Yesus jelas sekali merupakan saksi dari tulisan Perjanjian Baru. Banyak deklarasi konsili merujuk pada keberlanjutan pemahaman yang berawal dari Perjanjian Baru secara jelas, dan bukan hanya sebagai benih. Pengakuan keilahian Yesus Kristus merupakan sesuatu yang pasti dalam iman Gereja sejak awal. Hal ini telah menjadi saksi nyata sejak Perjanjian Baru

Wednesday, June 11, 2008

News: Usaha Kerupuk ”Inti Rasa” Pascanaik Harga BBM, ”Humanis itu Lagi Meringis”

Panas menyengat dari api tungku, minyak panas, bahan baku yang selalu naik di luar logika, dan sulitnya pemasaran. Inilah yang dihadang Almainir (53), tukang kerupuk “Inti Rasa” sejak 1974. Dari gudang produksinya Jalan Andalas Makmur Padang, dengan modal awal Rp 175 ribu, saat ini telah menghasilkan 300 bungkus per hari senilai Rp750 ribu. Saat ini, “Inti Rasa” telah merambah pasar. Bukan di Padang saja, tapi juga ke Pesisir Selatan, Kota Solok sampai ke Alahan Panjang (Kabupaten Solok). Pekerjaan ini membutuhkan banyak tenaga, hingga dia mempekerjakan 16 karyawan. Mereka bekerja mengaduk, mencetak, mengukus, menjemur, menggoreng, hingga membungkus kerupuk tiap hari. Rata-rata karyawan bergaji Rp35 ribu per orang dalam satu hari. Selain itu, juga ada yang memasarkan ke toko-toko di berbagai daerah. Semanis itukah perjalanan usaha keluarga bapak empat anak ini? Setelah digali, ternyata jawabannya ya. Tapi tidak untuk enam bulan belakangan. Karena tanpa belas kasihan, entah karena kebijakan “memihak rakyat” seperti apa yang diterapkan pemerintah, harga bahan baku pembuatan kerupuk melambung tinggi. Apalagi pascanaik harga BBM. Ada yang hingga 100 persen. “Penjualan Rp750 ribu per hari kedengarannya besar. Itu hanya kembali modal. Sekadar usaha tetap hidup saja,” ujar pria ini tetap tegar saat ditemui di kediamannya. Lelaki humanis ini tidak ingin karyawannya hilang pekerjaan, di samping berupaya tetap mempertahankan pasar yang telah dikuasai. Kondisi ini memang berat bagi usaha-usaha sejenis. “Bayangkan, setelah kenaikan BBM, tepung tapioka dari Rp105 ribu menjadi Rp125 ribu per karung, minyak goreng Surya dari Rp825 ribu menjadi Rp860 ribu per 60 Kg, tepung terigu dari Rp95 ribu per karung menjadi Rp180 ribu. Plastik Rp22.500 menjadi Rp27 ribu. Simpanan dahulu bisa habis,” kata Almainir dengan suara berat. Lantas bagaimana menghadapi kondisi ini? Untunglah dia memiliki keahlian reperasi mesin tik ditambah keahlian memperbaiki mesin hitung Casio, stensil. Dari usaha ini mengalir juga Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per hari. “Ini cukup buat sekolah anak-anak dan makan sehari-hari,” tuturnya tegar dengan air muka yang tidak memendarkan kesedihan. Di samping mereperasi di Kampung Jao Dalam, juga dipanggil ke kantor-kantor. Untuk profesi ini, dia cukup dikenal karena selalu memberi kemudahan dalam pembayaran kepada konsumen. “Jika kita bekerja semata-mata untuk uang, hidup akan susah. Itulah sebabnya saya tidak bisa keras. Saat orang butuh perbaikan mesin, saya kerjakan tanpa pembayaran cash. Dengan begini saya selalu dapat orderan yang kadang saya bawa pulang dan dikerjakan sampai pukul 3 dini hari,” tuturnya. Bagaimana dengan bantuan UKM? “RRI mewawancarai saya waktu Subuh beberapa bulan lalu. Siangnya, pukul 12.00 WIB petugas dari UMKM langsung datang menawarkan bantuan Rp 5 juta. Saya minta Rp 15 juta, disanggupi Rp 10 juta. Mereka beri waktu penggantian 3 tahun, tapi saya minta hanya 1 tahun. Saya yakin bisa. Tapi tidak diduga, enam bulan belakangan, harga bahan baku kerupuk naik tajam. Usaha jadi berat. Angsuran pinjaman baru beberapa bulan dibayar. Tapi bagaimana pun kondisinya, saya akan melunasinya,” tuturnya polos. (Hadi wijaya)
Sumber: http://www.padangekspres.co.id/content/view/7514/105/

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta