Monday, November 23, 2009

MEMULAI HIDUP DARI ANGKA NOL ???


Pernakah memikirkan bagaimana kita memiliki agama, beriman, dan kemudian harus percaya kepada Allah karena katanya Allah memberikan hidup (keselamatan) dan kita harus, mau tidak mau, menghormatinya dan beribadah kepada-Nya? Allah adalah yang mahakuasa dan mahabesar dan kita manusia tidak mampu mengatasinya sehingga kita sendiri harus (terpaksa) percaya pada Dia. Jika kita mau selamat, kita harus tunduk pada Dia.


Pernyataan ini adalah keliru bagi orang katolik. Iman kristiani kita tidak semerta-merta percaya pada Allah yang kaku. Memang Allah mahabesar dan mahakuasa namun Ia tidaklah kaku dan kita tidak bisa berbuat sesuatu yang seenaknya dan perbuatan kita harus seturut kehendak-Nya. Allah adalah pribadi yang terbuka dan rahim sehingga ia menerima siapapun dan apapun manusia sehingga kita sendiri akan merasakan bagaimana uluran tangan Allah membuat kita lega dan akhirnya bersedia memberikan pengalaman ini kepada orang lain, yaitu dengan memberikan berbagai tindakan kasih kepada sesama. Iman akan Allah hadir dalam pengalaman personal kita.


Dalam paper ini, kami ingin mengungkapkan bagaimana iman merangkul kehidupan, belajar beriman dengan berani lewat pengalaman, yaitu berinteraksi dengan Allah sendiri (wahyu) yang memberikan pengalaman. Kami juga akan membahasakan bagaimana iman bisa sampai di zaman sekarang ini dan bagaimana bisa diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari, terutama bagi kaum muda yang sering terpeleset paham dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Di akhir kami akan memberikan epilog mengenai pengalaman iman seorang anak muda yang pernah mengalami putus asa.

Berbahasa Iman dalam Konteks
Ketika kita berbicara mengenai pokok perhatian dalam membina iman, pertama-pertama yang harus diperhatikan adalah konteks manusia yang sedang kita hadapi, dengan segala macam pergulatannya. Sebagaimana ketika membicarakan konteks iman di kalangan mahasiswa teknik. Di sana kita perlu mencoba membuat semacam pre-kesimpulan/anggapan dasar tentang pergulatan mahasiswa teknik. Misalnya kami beranggapan bahwa mahasiswa teknik dalam menghayati iman nya sangat boleh jadi mengalami kebingungan. Kebingungan mengenai apa sih iman itu? Apakah saya harus beriman? Beriman kepada siapa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi membuat mereka terus bergulat dan mengalami apa itu iman. Apakah iman itu sama dengan agama? Mungkin saja bagi mereka. Dalam situasi di mana orang mangalami tantangan dalam iman, mengalami kegagalan, keputus-asaan, kekecewaaan, stress, fatalitas dan lain sebagainya. Iman menjadi sangat dipertanyakan.


Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah iman berarti hanya menuntut Allah yang bertindak? Apakah Allah menjadi tempat manusia meletakkan beban dan melemparkan segala persoalan hidup? Bukan! Allah tidak berarti demikian. Kalau kita menganggap Allah seperti ini berarti kita memperalat Allah. Allah seolah-olah kita jadikan sarana pemuasan diri atau pemenuhan hasrat kita. Bukankah ini berati kita egois dan sombong? Memaksa Allah untuk mengikuti keinginan kita sementara kita acuh-tak acuh dan masa bodoh terhadapnya? Kalau seperti ini maka iman tidak mendapat artinya yang benar. Sia-sialah iman kita.


Kemudian dari beberapa pengandaian ini kami akan mencoba untuk merumuskan mana pokok perhatian dalam membangun iman. Bagi kami pengalaman pergulatan dengan berbagai macam kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan, sudah menjadi modal besar untuk berteologi. Pengalaman pergulatan merupakan acuan pertama ketika merumuskan pokok perhatian iman yang harus dibina. Dari pengalaman tersebut manusa mengarah pada kesadaran akan adanya yang transenden. Pengalaman yang ada kemudian direfleksikan secara lebih mendalam, akan kita temukan betapa pengalaman yang biasa tadi akan sangat bermakna. Kebermaknaan dari sebuah pengalaman karena adanya kontemplasi maupun refleksi akan mengantar orang pada sebuah keyakinan dan sebuah komitmen. Maka, pokok perhatian dalam membina iman pertama-tama adalah bagaimana mendeskripsikan apa pergulatan yang sedang dihadapi, pengalaman apa saja yang sering membuat mereka mengalami kebingungan dan bertanya akan sesuatu yang banyak orang yakin dan percaya bahwa itu ada. Maka dalam membina iman harus ada pengalaman iman manusia yang asli, yakni dalam liku-liku sejarah orang mengenal Allah bertindak, supaya orang dapat hidup sebagai rekan sekerja Allah. Iman adalah sikap pribadi dan peristiwa dalam jaringan sejarah, waktu tindakan Allah mendapat tanggapan manusia. Pengalaman akan membuktikan bagaimana iman yang menyejarah menjadi begitu kuat dalam mengatasi keraguan menanggapi zaman. Lewat pengalaman, iman adalah peristiwa hidup manusia dan peristiwa kehadiran Allah; pengalaman hidup iman ini digambarkan dalam beberapa cirri khas yaitu iman adalah otonom, menyelamatkan, suci, mutlak, dan kristiani.


Kemudian, lewat pengalaman itulah kita masuk dalam perkara iman atau mengenai iman seperti yang ada dalam Dei Verbum art. 5, “…manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak … dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya.” Kebenaran yang kita terima melulu dari Allah karena rahmat dan juga peranan Roh Kudus. Jadi dalam membina iman, manusia selalu terarah pada Allah karena juga manusia berasal dari Allah dan tidak bisa terpisah dari-Nya. Kita harus sampai pada sebuah kesetujuan atau penyerahan diri pribadi yang membuat pembinaan iman berdasar pengalaman itu menjadi benar-benar membangun dan mengembangkan.


Iman yang sesungguhnya berasal dari Allah dan sekaligus dari manusia. Dalam arti Allah yang menggerakkan manusia dengan rahmat-Nya sehinga mendorong manusia untuk melibatkan seluruh tanggung jawabnya secara merdeka pada proyek Allah. Jadi iman mengandaikan dua unsur yang aktif sekaligus yakni tindakan Allah yang aktif dan tindakan manusia yang juga aktif menanggapi tindakan rahmat Allah. Iman bagaikan Allah yang bermain kartu dengan manusia, lempar-melempar, uji-menguji. Maka dalam konteks pembinaan iman bagi orang zaman sekarang ini haruslah kontekstual. Status pengertian dasariah mengenai iman haruslah memberi arah bagi pembinaan yang mencerahkan dan menyegarkan.


Peranan Kristus yang wafat dan bangkit, yang memberikan teladan kesungguhan-Nya dalam mengabdi Bapa merupakan sesuatu yang khas dalam hidup sebagai seorang Katolik. Perjumpaan manusia dan Kristus yang seperti akan memberi warna pengertian pembinaan hidup sehari-hari dalam iman yang akan terasa perbedaannya dengan orang lain atau agama lain. Bentuk bisa saja sama, namun isi bisa berbeda dan inilah yang membedakan antara tindakan yang kristiani dan tidak. Teladan dari Kristus menjadikan manusia, umat-Nya merasakan kasih Bapa yang sungguh murni dan membuat manusia memiliki hasrat dan gerak batin yang sama dalam mempersembahkan hidup sehari-harinya. Perjumpaan dengan Kristus memberikan hidup pada manusia yang mudah lelah dan gampang menyerah. Kristus memberikan hasrat dan semangat untuk masuk dalam jerih payah dunia. Jerih payah Kristus dalam perjalanan salibnya, memberikan teladan untuk tetap fokus dan terarah pada Allah walaupun dunia di kanan dan kiri manusia sangat mengenakan dan penuh godaan. Tanpa hasrat tersebut kerja keras manusia akan sia-sia karena kerja keras manusia hanya akan menjadi sesuatu yang kosong dan hampa, tak ada isinya. Bersama Kristus, kerja keras manusia sampai pada tujuan hidupnya. Maka, situasi manusia di dunia ini adalah berkerja keras berinteraksi dengan Allah.


Manusia dalam menjalankan hal tersebut juga tidak bisa melewatkan rahmat yang sama yang ada dalam Kitab Suci. Kembali pada Kitab Suci dan meneruskannya memberikan kesaksian yang indah dalam peristiwa iman. Ilmu pengetahuan dan modernitas dunia sekarang ini atau segala bentuk interaksi manusia dengan Allah adalah jalan menuju Allah di mana manusia dalam pengabdiannya kepada Allah harus mau berkerja keras dan menjunjung tinggi nilai-nilai kristiani. Manusia yang berinteraksi tersebut adalah hasil dari sejarah iman dari rahmat atau Roh Kudus yang satu dan sama.

Epilog
Kisah yang ada dalam tulisan “Memulai Hidup dari Nol” adalah kisah mengenai iman yang menarik dewasa ini. Terutama berkaitan dengan orang muda yang saleh dan rahmat Allah yang tidak sesuai dengan keinginan-Nya. Penulis, Andre Sulistyo, memaparkan bahwa dirinya telah berusaha dalam doa yang saleh dan suci untuk mendapatkan pekerjaan, namun doanya tidak dikabulkan sampai satu saat ia sendiri menjadi seorang fatalistis. Enggan mau berdoa. Nampak bahwa saudara Andre berusaha pasrah melimpahkan kemauan dan cita-citanya pada Allah, sementara ia menunggu dalam kepasifan. Kegagalan yang ia rasakan semata-mata karena dirinya yang kurang mau membuka mata terhadap peranan rahmat dan Roh Kudus. Ia masih melihat dengan sebelah mata yaitu terus menerus meminta pada Allah, memaksakan kehendaknya dan tidak menyerahkan dirinya sehingga ia merasa hidup di mulai dari nol. Allah dijadikan sarana pemuasan diri atau pemenuhan hasrat manusia saja.


Saudara Andre sebenarnya memiliki kemampuan dan pengalaman yang asli yang belum ia sadari. Ia memiliki kemampuan akademik, kertampilan memelihara bunga, kepandaian menjalin relasi dengan rekan-rekan seusaha dan memiliki kemauan serta semangat yang kuat dalam berusaha, dan tentu masih banyak lagi. Kemampuan serta pengalaman-pengalaman asli ini bukan semata hasil usaha manusia, tetapi merupakan karunia-karunia Allah. Inilah awal insiatif atau interese Allah agar manusia mengambil bagian dalam hidup Allah karena Allah menghendaki manusia menjadi terlibat dalam kehendak dan bekerja keras dalam karya usaha ilahi. Saudara Andre pada awalnya belum sampai pada pengakuan pengalaman yang berasal dari Allah, pengalaman yang sambung menyambung dengan Allah lewat kesadaran kemampuan aslinya. Ia masih memihak pada dirinya.


Saudara Andre berpartisipasi dalam interaktif dengan Allah yang terwujud dalam mengaktifkan segenap kesanggupan pengalaman yang ada pada dirinya. Bertolak dari pemahaman ini jadi saudara Andre tidak memulai hidupnya dari nol. Sudara Andre membangun hidupnya atas dasar apa yang telah dikaruniakan Allah baginya. Saudara Andre mengatakan bahwa hidupnya mulai dari nol karena bertolak dari pemahaman yang keliru bahwa Allah yang harus Aktif berbuat sesuatu bagi manusia sementara manusia menantikan hasilnya. Sesungguhnya Allah aktif demikian pun manusia turut aktif.


Dalam bahasa iman, Allah dan manusia hidup dengan saling berinteraksi. Manusia dan Allah berbagi kehidupan yang satu dan sama di dalam dunia ini, juga dalam setiap perkembangan zaman atau kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sekarang ini. Dengan demikian, manusia dalam kemanusiaannya menjadi mitra Allah. Manusia dapat mengaktifkan kemampuannya untuk berani berinteraksi dengan Allah. Dalam berinteraksi dengan Allah atau dalam membina iman, pengalaman menjadi titik pijak yang penting.

John Courtney Murray


John Courtney Murray ( 12 september 1904 – 16 Agustus 1967). Teolog Jesuit. Ia lahir di kota New York. Ayahnya seorang pengacara, Michael John Murray.


Murray masuk Serikat Jesus tahun 1920. Setelah menyelesaikan filsafat di Boston Collage (BA 1926, MA 1927) ia mengajar Sastra Latin dan Inggris di Ateneo de Manila, Philippina. Tahun 1930, ia kembali ke Amerika untuk studi Teologi di Woodstock Collage, Maryland hingga 1934. Saat studi, 1933, ia ditahbiskan dan kemudian melanjutkan studi lanjut di Gregoriana University. Tahun 1937 dia menyelesaikan doktornya dalam sacred theology (STD) dengan spesialisasi doktrin rahmat dan trinitas. Setelah itu ia kembali ke Woodstock dan mengajar teologi Trinitas. Tahun 1941 dia menjadi editor jurnal Jesuit, Theological studies. Dia memegang dua perkerjaan ini hingga wafatnya, 1967. Ia menulis banyak buku dan salah satunya adalah yang kita pelajari sekarang ini “We Hold These Thruths” yang diterbitkan pada tahun 1960. Ide berteologi Murray, terutama tentang Gereja dan Negara, mengalami masalah, terutama dari para pemimpin Gereja, Alfredo Kardinal Octaviani, prefek Kuria Vatikan dan juga beberapa teolog dan orang katolik US. Dia dilarang mengajar dan menulis hingga 1950 karena idenya ini. Ide-idenya sangat modern dan akhirnya pada Konsili Vatikan II ia diundang dan memberikan kontribusi besar dalam dokumen Dignitatis Humane, 1965.

Dua isu dasar yang memunculkan permasalahan tentang kebebasan, menurut Murray, yaitu hakekat spiritual dari hidup bersama dan stuktur fundamental dari hidup bersama. Hakekat spiritual hidup bersama muncul dari konsep kristiani, res sacra homo, manusia itu suci, dan struktur fundamental hidup bersama bukan tentang masalah legal sipil, melainkan mengenai struktur ontologi bermasyarakat, sehingga aturan dasar bermasyarakat harus berasal dari refleksi, bukan semata teori. Dua isu dasar ini sangat umum dan selalu berkaitan dengan sifat dasar dan struktur realitas hidup bersama.


Permasalahan kebebasan, menurut Murray, sudah berkembang. Doktrin tentang kebebasan yang menyatakan bahwa pemerintah adalah musuh kebebasan sudah dihiraukan karena Gereja dan negara telah terpisah. Konsep modern ini dari kebebasan masihlah berbahaya karena modernitas mengabaikan sisi kebersamaan manusia. Modernitas hanya melihat kebebasan dari konteks tanggung jawab, keadilan, aturan, dan hukum, yang sebenarnya merupakan peripheral. Di sini modernitas masuk dalam dikotomi individualisme dan kolektivisme. Manusia di zaman sekarang ini sepertinya hanya akan mewujudkan mimpi cartesian padahal masalah utamanya adalah terputusnya mimpi karena tidak tahu Descates. Sehingga master dari dunia ini menjadi bukan diri manusia sendiri. Manusia telah kehilangan identitasnya padahal sebenarnya manusia adalah master dan pemilik alam ini.


Permasalahan ini akan mungkin diselesaikan jika kita melihat tradisi liberal dunia Barat, yang berkaitan erat dengan kristianitas. Pengalaman politik kebebasan merupakan usaha untuk menemukan dan memasukan ke dalam dunia pengganti yang lebih sekular dari tradisi kristiani.


Kebebasan beragama telah didiskusikan berabad-abad, terutama pada abad pertengahan. Ada konflik antara Gereja dan modernitas, tidak hanya suatu problem spirit (semangat kebebasan) melainkan juga politis. Usaha politis dari kekristenan adalah menghancurkan pandangan klasik tentang masyarakat senagai struktur yang satu dan sama dimana kekuatan politik berdiri tegak diantara agama dan sipil. Kaisar Augustus merupakan Summus Immperator dan juga Pontifex Maximus. Menurutnya “diluar kekaisaran tidak ada masyarakat sipil, yang ada hanya orang-orang barbar’.


Pandangan kristiani yang lebih baik adalah dari Gelasius I yang menyatakan bahwa harus ada pembedaan antara yang suci dan secular. Dia menulis kepada Kaisar Bizantium, Atanasius, 494, yang menyatakan ada “dua” yang mengatur hak original dan kedaulatan, yaitu concecrated authority of the priesthood dan the royal power. Pandangan Gelasius I ini oleh Alois Dempf, dalam Sacrum Imperium, disebut sebagai “Magna Charta” dari seluruh kebebasan dalam Gereja di abad pertengahan. Kebebasan dalam Gereja merupakan suatu partisipasi dalam kebebasan anak Allah yang berinkarnasi, Allah manusia, Kristus Yesus.


Dengan demikian, Murray, lewat pandangan Gelasius I, menegaskan akan adanya paham kebebasan baru dan ia menerangkannya dalam dua bagian, yaitu kebebasan Gereja dalam otoritas spiritual dan kebebasan Gereja sebagai orang-orang kristiani. Kebebasan Gereja dalam otoritas spiritual berkaitan dengan cura animarum, ada kebebasan untuk mengajar, mengendalikan, menyucikan. Namun kebebasan ini memiliki aspek negatif yaitu menjadikan Gereja kebal karena adanya suprapolitical sacredness dari segala politik negara. Dengan adanya otoritas spiritual, negara tidak bisa seenaknyan terhadap kehidupan bersama manusia. Manusia sebagai res sacra homo menemukan kebebasannya menuju keinginan sucinya. Manusia akan menemukan kebebasannya ketika ia menemukan imannya, di dalam Gereja. Gereja dengan demikian bisa mendampingi manusia hingga sampai pada kebebasannya dan ini tidak bisa diperoleh lewat negara.


Kebebasan Gereja sebagai orang-orang kristiani berkaitan dengan hidup menjadi kristen seperti mendapakan ajaran Gereja, mentaati aturan Gereja, menerima rahmat sakramen-sakramen, dan hidup bersama. Dengan paham ini Gereja bersikap netral karena berada di tengah politik pemerintah dan masyarakat sehingga Gereja bisa menawarkan tata hidup moral dan menjadikan negara selalu lebih baik. Manusia diajak untuk “berperang demi keadilan dan juga demi kebebasan semua orang”.


Murray menyatakan bahwa ini adalah dalil kristiani. Kebebasan Gereja dimengerti sebagai kunci dari Christian order masyarakat. Masalah kemudian dalam sejarah bahwa dalil ini kemudian tidak bertahan lama karena dalam masyarakat itu sendiri kebebasan dan keadilan dirusak oleh bangkitnya monarki-monarki nasional yang menjadikan dua hal ini menjadi satu, diurus oleh raja, yang absolut.


Kunci untuk bangunan politik yang baru ini adalah kebebasan hati nurani perorangan. Di sini kepercayaan sangat dibutuhkan. Percaya, hati nurani seseorang yang bebas, secara efektif dapat menegahi imperatif moral dari transendental order of justice. Inilah yang akan membawa manusia pada tindakan moral sehari-hari. Hati nurani manusia yang bebas merupakan otoritas spiritual yang penuh kuasa yang darinya selalu muncul praksis moral. Ini akan membawa manusia pada kesuciannya. Dengan demikian, apa yang dimaksud Gelasius I dapat berjalan karena ada pemisahan antara Gereja dan negara. Manusia ataupun masyarakat dapat merasakan kejelasan hidup, yaitu antara hidup untuk yang benar, untuk bonnum commune, dan ketertiban umum, public order. Gereja dan negara saling terpisah dan juga saling membantu dalam membangun masyarakat yang modern. Namun, yang menjadi fokus utamanya adalah masyarakat. Manusia tidak akan dibingungkan dengan siapa yang harus mereka taati, Gereja atau negara. Adanya kristianitas bukan untuk mempersulit hidup bermasyarakat karena muncul satu pemimpin selain negara. Pemisahan ini harus ada karena status ontologis yang berbeda antara negara dan Gereja terhadap masyarakat.


Permasalahan yang pernah terjadi karena tidak ingin ada campur tangan dari Gereja. Kerajaan menjalankan monarki absolut di mana raja/kaisar adalah sekaligus pemimpin sipil dan spiritual. Paham ini tidak lagi dua, melainkan satu. Mulai abad 17 paham satu mulai berkembang dengan model kerajaan absolut dan pada abad 20 pandangan Gelasius tidak lagi dianggap. Yang ada adalah masyarakat yang satu. Hukum, otoritas, intelektual, agama, dan moral diurus negara.
Marx juga menyatakan hal yang sama di mana ia menolak peranan Gereja dalam hidup bermasyarakat. Menurutnya negara dan Gereja selalu berbenturan dan akan selalu memperburuk keadaan. Menurutnya, sesuai yang dikutip Hocking, hanya satu yang memerintah dunia ini.


Dengan demikian, yang ada adalah satu masyarakat, satu hukum, dan dengan satu kekuasaan, masyarakat yang sama. Modernitas telah membuat paham Gelasius ini heresi dan tidak digunakan lagi. Gambaran masyarakat demokratis menjadi satu dalam struktur dan sekular dalam substansinya. Hal ini merupakan hasil dari modernitas politis. Tentu saja, bagi Murray ini mengherankan karena Gereja, lewat Gelasius, berjuang untuk memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak dalam masyarakat. Negara bukanlah masyarakat, negara hanya sebagian dari masyarakat sehingga, menurut Murray, tidak boleh menjadi satu.


Dengan modernitas sekarang ini, hidup bermasyarakat menjadi sulit. Manusia hanya ikut negara dan bukan ikut dirinya sendiri. Komunisme makin mempersulit keadaan karena menuntut satu dengan negara. Komunisme telah membalik paham Gelasius. Paham kebebasan dan keadilan ikut paham negara, bukan berangkat dari diri manusia, hati nuraninya.


Namun yang terjadi, dalam negara modern, paham satu ini terbukti impoten. Nilai bersama, pendidikan, kontrol ekonomi, moralitas umum, keadilan dan hukum telah terbukti tidak kompeten karena manusia menjalankan semua ini karena urusan negara, secular. Tidak berkaitan dengan nilai transendental manusia. Yang memang dibutuhkan adalah motivasi diri manusia untuk self-ruled, self-contained, dan self motivating. Inilah peranan Gereja dalam memberikan kebebasan pada manusia sehingga hal-hal moral/praktis hidup sehari-hari menjadi lebih bernilai dan bermakna, muncul dari diri manusia sendiri. Manusia memiliki kesadaran untuk yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat karena sisi transendentalnya.


Namun, Murray merasakan adanya kerancuan. Menurutnya modernitas hanya menolak kebenaran dari wahyu ilahi, yang merupakan sisi esensial Gereja. Romano Guardini juga menyatakan hal yang sama bahwa ada pnghianatan dari struktur eksistensial suatu realitas yang berasal dari Gereja. Modernitas sebenarnya tidak menolak apa yang diajarkan Gereja, yaitu mengenai nilai-nilai moral, individual dan sosial. Setidaknya paham res sacra homo masih bergema dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai ini telah menjadi imanen dalam diri manusia dan bahkan telah menjadi milik manusia. Kristianitas dalam modernitas mungkin tidak kelihatan namun penampakan daya tariknya menjadi sesuatu yang dinamis dalam kebebasan dan keadilan di dunia ini. Res sacra homo kini berada dibawah patron baru, modernitas.

Doa Air Ignatius

St. Ignatius pelindung agung,
Tatkala engkau masih hidup di dunia ini, St. Filipus Neri, murid dan sahabatMu mengatakan bahwa Engkau akan menjadi pelindung istimewa para ibu dan mereka akan engkau berkati pada waktu melahirkan anak, jika mereka mohon perlindunganmu. Perkataan santo yang mulia itu sudah dibenarkan secara mengagumkan dan setiap hari terbukti kebenarannya. Sebab itu, kami pun, dengan penuh pengharapan memohon kepadamu, sudilah memohonkan kepada Tuhan, supaya anak kami boleh lahir dengan selamat. Ya santo yang berkuasa dan penuh kasih sayang, janganlah mengecewakan pengharapan kami. Engkau tahu bahwa harapan kami hanya satu, yakni mendidik anak kami untuk Tuhan, jika dikaruniakan Tuhan kepada kami. Kami serahkan anak kami, supaya seumur hidup-nya, ia tetap setia mengabdi kepada Tuhan dan memuji serta memuliakan namaNya selamanya. Kabulkanlah doa kami agar kami boleh menerika karunia itu.
Sekarang kami berjanji, agar anak yang dikaruniakan Allah kepada kami ini, akan kami persembahkan kepada Hati Yesus yang Mahakudus, dan kami letakkan di bawah perlindunganMu sebagai bapa. Semoga anak ini mengukuhkan janji setia perkawinan kami, agar kami bersama seluruh keluarga senantiasa memuliakan Allah sepanjang segala masa.
St. Ignatius, doakanlah kami. Amin.

--Doa St. Ignatius (Ambilah dan Terimalah/Jiwa Kristus), diakhiri dengan doa Bapa Kami, kemudian, air dimunum--

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta