Monday, November 23, 2009

MEMULAI HIDUP DARI ANGKA NOL ???


Pernakah memikirkan bagaimana kita memiliki agama, beriman, dan kemudian harus percaya kepada Allah karena katanya Allah memberikan hidup (keselamatan) dan kita harus, mau tidak mau, menghormatinya dan beribadah kepada-Nya? Allah adalah yang mahakuasa dan mahabesar dan kita manusia tidak mampu mengatasinya sehingga kita sendiri harus (terpaksa) percaya pada Dia. Jika kita mau selamat, kita harus tunduk pada Dia.


Pernyataan ini adalah keliru bagi orang katolik. Iman kristiani kita tidak semerta-merta percaya pada Allah yang kaku. Memang Allah mahabesar dan mahakuasa namun Ia tidaklah kaku dan kita tidak bisa berbuat sesuatu yang seenaknya dan perbuatan kita harus seturut kehendak-Nya. Allah adalah pribadi yang terbuka dan rahim sehingga ia menerima siapapun dan apapun manusia sehingga kita sendiri akan merasakan bagaimana uluran tangan Allah membuat kita lega dan akhirnya bersedia memberikan pengalaman ini kepada orang lain, yaitu dengan memberikan berbagai tindakan kasih kepada sesama. Iman akan Allah hadir dalam pengalaman personal kita.


Dalam paper ini, kami ingin mengungkapkan bagaimana iman merangkul kehidupan, belajar beriman dengan berani lewat pengalaman, yaitu berinteraksi dengan Allah sendiri (wahyu) yang memberikan pengalaman. Kami juga akan membahasakan bagaimana iman bisa sampai di zaman sekarang ini dan bagaimana bisa diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari, terutama bagi kaum muda yang sering terpeleset paham dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Di akhir kami akan memberikan epilog mengenai pengalaman iman seorang anak muda yang pernah mengalami putus asa.

Berbahasa Iman dalam Konteks
Ketika kita berbicara mengenai pokok perhatian dalam membina iman, pertama-pertama yang harus diperhatikan adalah konteks manusia yang sedang kita hadapi, dengan segala macam pergulatannya. Sebagaimana ketika membicarakan konteks iman di kalangan mahasiswa teknik. Di sana kita perlu mencoba membuat semacam pre-kesimpulan/anggapan dasar tentang pergulatan mahasiswa teknik. Misalnya kami beranggapan bahwa mahasiswa teknik dalam menghayati iman nya sangat boleh jadi mengalami kebingungan. Kebingungan mengenai apa sih iman itu? Apakah saya harus beriman? Beriman kepada siapa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi membuat mereka terus bergulat dan mengalami apa itu iman. Apakah iman itu sama dengan agama? Mungkin saja bagi mereka. Dalam situasi di mana orang mangalami tantangan dalam iman, mengalami kegagalan, keputus-asaan, kekecewaaan, stress, fatalitas dan lain sebagainya. Iman menjadi sangat dipertanyakan.


Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah iman berarti hanya menuntut Allah yang bertindak? Apakah Allah menjadi tempat manusia meletakkan beban dan melemparkan segala persoalan hidup? Bukan! Allah tidak berarti demikian. Kalau kita menganggap Allah seperti ini berarti kita memperalat Allah. Allah seolah-olah kita jadikan sarana pemuasan diri atau pemenuhan hasrat kita. Bukankah ini berati kita egois dan sombong? Memaksa Allah untuk mengikuti keinginan kita sementara kita acuh-tak acuh dan masa bodoh terhadapnya? Kalau seperti ini maka iman tidak mendapat artinya yang benar. Sia-sialah iman kita.


Kemudian dari beberapa pengandaian ini kami akan mencoba untuk merumuskan mana pokok perhatian dalam membangun iman. Bagi kami pengalaman pergulatan dengan berbagai macam kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan, sudah menjadi modal besar untuk berteologi. Pengalaman pergulatan merupakan acuan pertama ketika merumuskan pokok perhatian iman yang harus dibina. Dari pengalaman tersebut manusa mengarah pada kesadaran akan adanya yang transenden. Pengalaman yang ada kemudian direfleksikan secara lebih mendalam, akan kita temukan betapa pengalaman yang biasa tadi akan sangat bermakna. Kebermaknaan dari sebuah pengalaman karena adanya kontemplasi maupun refleksi akan mengantar orang pada sebuah keyakinan dan sebuah komitmen. Maka, pokok perhatian dalam membina iman pertama-tama adalah bagaimana mendeskripsikan apa pergulatan yang sedang dihadapi, pengalaman apa saja yang sering membuat mereka mengalami kebingungan dan bertanya akan sesuatu yang banyak orang yakin dan percaya bahwa itu ada. Maka dalam membina iman harus ada pengalaman iman manusia yang asli, yakni dalam liku-liku sejarah orang mengenal Allah bertindak, supaya orang dapat hidup sebagai rekan sekerja Allah. Iman adalah sikap pribadi dan peristiwa dalam jaringan sejarah, waktu tindakan Allah mendapat tanggapan manusia. Pengalaman akan membuktikan bagaimana iman yang menyejarah menjadi begitu kuat dalam mengatasi keraguan menanggapi zaman. Lewat pengalaman, iman adalah peristiwa hidup manusia dan peristiwa kehadiran Allah; pengalaman hidup iman ini digambarkan dalam beberapa cirri khas yaitu iman adalah otonom, menyelamatkan, suci, mutlak, dan kristiani.


Kemudian, lewat pengalaman itulah kita masuk dalam perkara iman atau mengenai iman seperti yang ada dalam Dei Verbum art. 5, “…manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak … dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya.” Kebenaran yang kita terima melulu dari Allah karena rahmat dan juga peranan Roh Kudus. Jadi dalam membina iman, manusia selalu terarah pada Allah karena juga manusia berasal dari Allah dan tidak bisa terpisah dari-Nya. Kita harus sampai pada sebuah kesetujuan atau penyerahan diri pribadi yang membuat pembinaan iman berdasar pengalaman itu menjadi benar-benar membangun dan mengembangkan.


Iman yang sesungguhnya berasal dari Allah dan sekaligus dari manusia. Dalam arti Allah yang menggerakkan manusia dengan rahmat-Nya sehinga mendorong manusia untuk melibatkan seluruh tanggung jawabnya secara merdeka pada proyek Allah. Jadi iman mengandaikan dua unsur yang aktif sekaligus yakni tindakan Allah yang aktif dan tindakan manusia yang juga aktif menanggapi tindakan rahmat Allah. Iman bagaikan Allah yang bermain kartu dengan manusia, lempar-melempar, uji-menguji. Maka dalam konteks pembinaan iman bagi orang zaman sekarang ini haruslah kontekstual. Status pengertian dasariah mengenai iman haruslah memberi arah bagi pembinaan yang mencerahkan dan menyegarkan.


Peranan Kristus yang wafat dan bangkit, yang memberikan teladan kesungguhan-Nya dalam mengabdi Bapa merupakan sesuatu yang khas dalam hidup sebagai seorang Katolik. Perjumpaan manusia dan Kristus yang seperti akan memberi warna pengertian pembinaan hidup sehari-hari dalam iman yang akan terasa perbedaannya dengan orang lain atau agama lain. Bentuk bisa saja sama, namun isi bisa berbeda dan inilah yang membedakan antara tindakan yang kristiani dan tidak. Teladan dari Kristus menjadikan manusia, umat-Nya merasakan kasih Bapa yang sungguh murni dan membuat manusia memiliki hasrat dan gerak batin yang sama dalam mempersembahkan hidup sehari-harinya. Perjumpaan dengan Kristus memberikan hidup pada manusia yang mudah lelah dan gampang menyerah. Kristus memberikan hasrat dan semangat untuk masuk dalam jerih payah dunia. Jerih payah Kristus dalam perjalanan salibnya, memberikan teladan untuk tetap fokus dan terarah pada Allah walaupun dunia di kanan dan kiri manusia sangat mengenakan dan penuh godaan. Tanpa hasrat tersebut kerja keras manusia akan sia-sia karena kerja keras manusia hanya akan menjadi sesuatu yang kosong dan hampa, tak ada isinya. Bersama Kristus, kerja keras manusia sampai pada tujuan hidupnya. Maka, situasi manusia di dunia ini adalah berkerja keras berinteraksi dengan Allah.


Manusia dalam menjalankan hal tersebut juga tidak bisa melewatkan rahmat yang sama yang ada dalam Kitab Suci. Kembali pada Kitab Suci dan meneruskannya memberikan kesaksian yang indah dalam peristiwa iman. Ilmu pengetahuan dan modernitas dunia sekarang ini atau segala bentuk interaksi manusia dengan Allah adalah jalan menuju Allah di mana manusia dalam pengabdiannya kepada Allah harus mau berkerja keras dan menjunjung tinggi nilai-nilai kristiani. Manusia yang berinteraksi tersebut adalah hasil dari sejarah iman dari rahmat atau Roh Kudus yang satu dan sama.

Epilog
Kisah yang ada dalam tulisan “Memulai Hidup dari Nol” adalah kisah mengenai iman yang menarik dewasa ini. Terutama berkaitan dengan orang muda yang saleh dan rahmat Allah yang tidak sesuai dengan keinginan-Nya. Penulis, Andre Sulistyo, memaparkan bahwa dirinya telah berusaha dalam doa yang saleh dan suci untuk mendapatkan pekerjaan, namun doanya tidak dikabulkan sampai satu saat ia sendiri menjadi seorang fatalistis. Enggan mau berdoa. Nampak bahwa saudara Andre berusaha pasrah melimpahkan kemauan dan cita-citanya pada Allah, sementara ia menunggu dalam kepasifan. Kegagalan yang ia rasakan semata-mata karena dirinya yang kurang mau membuka mata terhadap peranan rahmat dan Roh Kudus. Ia masih melihat dengan sebelah mata yaitu terus menerus meminta pada Allah, memaksakan kehendaknya dan tidak menyerahkan dirinya sehingga ia merasa hidup di mulai dari nol. Allah dijadikan sarana pemuasan diri atau pemenuhan hasrat manusia saja.


Saudara Andre sebenarnya memiliki kemampuan dan pengalaman yang asli yang belum ia sadari. Ia memiliki kemampuan akademik, kertampilan memelihara bunga, kepandaian menjalin relasi dengan rekan-rekan seusaha dan memiliki kemauan serta semangat yang kuat dalam berusaha, dan tentu masih banyak lagi. Kemampuan serta pengalaman-pengalaman asli ini bukan semata hasil usaha manusia, tetapi merupakan karunia-karunia Allah. Inilah awal insiatif atau interese Allah agar manusia mengambil bagian dalam hidup Allah karena Allah menghendaki manusia menjadi terlibat dalam kehendak dan bekerja keras dalam karya usaha ilahi. Saudara Andre pada awalnya belum sampai pada pengakuan pengalaman yang berasal dari Allah, pengalaman yang sambung menyambung dengan Allah lewat kesadaran kemampuan aslinya. Ia masih memihak pada dirinya.


Saudara Andre berpartisipasi dalam interaktif dengan Allah yang terwujud dalam mengaktifkan segenap kesanggupan pengalaman yang ada pada dirinya. Bertolak dari pemahaman ini jadi saudara Andre tidak memulai hidupnya dari nol. Sudara Andre membangun hidupnya atas dasar apa yang telah dikaruniakan Allah baginya. Saudara Andre mengatakan bahwa hidupnya mulai dari nol karena bertolak dari pemahaman yang keliru bahwa Allah yang harus Aktif berbuat sesuatu bagi manusia sementara manusia menantikan hasilnya. Sesungguhnya Allah aktif demikian pun manusia turut aktif.


Dalam bahasa iman, Allah dan manusia hidup dengan saling berinteraksi. Manusia dan Allah berbagi kehidupan yang satu dan sama di dalam dunia ini, juga dalam setiap perkembangan zaman atau kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sekarang ini. Dengan demikian, manusia dalam kemanusiaannya menjadi mitra Allah. Manusia dapat mengaktifkan kemampuannya untuk berani berinteraksi dengan Allah. Dalam berinteraksi dengan Allah atau dalam membina iman, pengalaman menjadi titik pijak yang penting.

John Courtney Murray


John Courtney Murray ( 12 september 1904 – 16 Agustus 1967). Teolog Jesuit. Ia lahir di kota New York. Ayahnya seorang pengacara, Michael John Murray.


Murray masuk Serikat Jesus tahun 1920. Setelah menyelesaikan filsafat di Boston Collage (BA 1926, MA 1927) ia mengajar Sastra Latin dan Inggris di Ateneo de Manila, Philippina. Tahun 1930, ia kembali ke Amerika untuk studi Teologi di Woodstock Collage, Maryland hingga 1934. Saat studi, 1933, ia ditahbiskan dan kemudian melanjutkan studi lanjut di Gregoriana University. Tahun 1937 dia menyelesaikan doktornya dalam sacred theology (STD) dengan spesialisasi doktrin rahmat dan trinitas. Setelah itu ia kembali ke Woodstock dan mengajar teologi Trinitas. Tahun 1941 dia menjadi editor jurnal Jesuit, Theological studies. Dia memegang dua perkerjaan ini hingga wafatnya, 1967. Ia menulis banyak buku dan salah satunya adalah yang kita pelajari sekarang ini “We Hold These Thruths” yang diterbitkan pada tahun 1960. Ide berteologi Murray, terutama tentang Gereja dan Negara, mengalami masalah, terutama dari para pemimpin Gereja, Alfredo Kardinal Octaviani, prefek Kuria Vatikan dan juga beberapa teolog dan orang katolik US. Dia dilarang mengajar dan menulis hingga 1950 karena idenya ini. Ide-idenya sangat modern dan akhirnya pada Konsili Vatikan II ia diundang dan memberikan kontribusi besar dalam dokumen Dignitatis Humane, 1965.

Dua isu dasar yang memunculkan permasalahan tentang kebebasan, menurut Murray, yaitu hakekat spiritual dari hidup bersama dan stuktur fundamental dari hidup bersama. Hakekat spiritual hidup bersama muncul dari konsep kristiani, res sacra homo, manusia itu suci, dan struktur fundamental hidup bersama bukan tentang masalah legal sipil, melainkan mengenai struktur ontologi bermasyarakat, sehingga aturan dasar bermasyarakat harus berasal dari refleksi, bukan semata teori. Dua isu dasar ini sangat umum dan selalu berkaitan dengan sifat dasar dan struktur realitas hidup bersama.


Permasalahan kebebasan, menurut Murray, sudah berkembang. Doktrin tentang kebebasan yang menyatakan bahwa pemerintah adalah musuh kebebasan sudah dihiraukan karena Gereja dan negara telah terpisah. Konsep modern ini dari kebebasan masihlah berbahaya karena modernitas mengabaikan sisi kebersamaan manusia. Modernitas hanya melihat kebebasan dari konteks tanggung jawab, keadilan, aturan, dan hukum, yang sebenarnya merupakan peripheral. Di sini modernitas masuk dalam dikotomi individualisme dan kolektivisme. Manusia di zaman sekarang ini sepertinya hanya akan mewujudkan mimpi cartesian padahal masalah utamanya adalah terputusnya mimpi karena tidak tahu Descates. Sehingga master dari dunia ini menjadi bukan diri manusia sendiri. Manusia telah kehilangan identitasnya padahal sebenarnya manusia adalah master dan pemilik alam ini.


Permasalahan ini akan mungkin diselesaikan jika kita melihat tradisi liberal dunia Barat, yang berkaitan erat dengan kristianitas. Pengalaman politik kebebasan merupakan usaha untuk menemukan dan memasukan ke dalam dunia pengganti yang lebih sekular dari tradisi kristiani.


Kebebasan beragama telah didiskusikan berabad-abad, terutama pada abad pertengahan. Ada konflik antara Gereja dan modernitas, tidak hanya suatu problem spirit (semangat kebebasan) melainkan juga politis. Usaha politis dari kekristenan adalah menghancurkan pandangan klasik tentang masyarakat senagai struktur yang satu dan sama dimana kekuatan politik berdiri tegak diantara agama dan sipil. Kaisar Augustus merupakan Summus Immperator dan juga Pontifex Maximus. Menurutnya “diluar kekaisaran tidak ada masyarakat sipil, yang ada hanya orang-orang barbar’.


Pandangan kristiani yang lebih baik adalah dari Gelasius I yang menyatakan bahwa harus ada pembedaan antara yang suci dan secular. Dia menulis kepada Kaisar Bizantium, Atanasius, 494, yang menyatakan ada “dua” yang mengatur hak original dan kedaulatan, yaitu concecrated authority of the priesthood dan the royal power. Pandangan Gelasius I ini oleh Alois Dempf, dalam Sacrum Imperium, disebut sebagai “Magna Charta” dari seluruh kebebasan dalam Gereja di abad pertengahan. Kebebasan dalam Gereja merupakan suatu partisipasi dalam kebebasan anak Allah yang berinkarnasi, Allah manusia, Kristus Yesus.


Dengan demikian, Murray, lewat pandangan Gelasius I, menegaskan akan adanya paham kebebasan baru dan ia menerangkannya dalam dua bagian, yaitu kebebasan Gereja dalam otoritas spiritual dan kebebasan Gereja sebagai orang-orang kristiani. Kebebasan Gereja dalam otoritas spiritual berkaitan dengan cura animarum, ada kebebasan untuk mengajar, mengendalikan, menyucikan. Namun kebebasan ini memiliki aspek negatif yaitu menjadikan Gereja kebal karena adanya suprapolitical sacredness dari segala politik negara. Dengan adanya otoritas spiritual, negara tidak bisa seenaknyan terhadap kehidupan bersama manusia. Manusia sebagai res sacra homo menemukan kebebasannya menuju keinginan sucinya. Manusia akan menemukan kebebasannya ketika ia menemukan imannya, di dalam Gereja. Gereja dengan demikian bisa mendampingi manusia hingga sampai pada kebebasannya dan ini tidak bisa diperoleh lewat negara.


Kebebasan Gereja sebagai orang-orang kristiani berkaitan dengan hidup menjadi kristen seperti mendapakan ajaran Gereja, mentaati aturan Gereja, menerima rahmat sakramen-sakramen, dan hidup bersama. Dengan paham ini Gereja bersikap netral karena berada di tengah politik pemerintah dan masyarakat sehingga Gereja bisa menawarkan tata hidup moral dan menjadikan negara selalu lebih baik. Manusia diajak untuk “berperang demi keadilan dan juga demi kebebasan semua orang”.


Murray menyatakan bahwa ini adalah dalil kristiani. Kebebasan Gereja dimengerti sebagai kunci dari Christian order masyarakat. Masalah kemudian dalam sejarah bahwa dalil ini kemudian tidak bertahan lama karena dalam masyarakat itu sendiri kebebasan dan keadilan dirusak oleh bangkitnya monarki-monarki nasional yang menjadikan dua hal ini menjadi satu, diurus oleh raja, yang absolut.


Kunci untuk bangunan politik yang baru ini adalah kebebasan hati nurani perorangan. Di sini kepercayaan sangat dibutuhkan. Percaya, hati nurani seseorang yang bebas, secara efektif dapat menegahi imperatif moral dari transendental order of justice. Inilah yang akan membawa manusia pada tindakan moral sehari-hari. Hati nurani manusia yang bebas merupakan otoritas spiritual yang penuh kuasa yang darinya selalu muncul praksis moral. Ini akan membawa manusia pada kesuciannya. Dengan demikian, apa yang dimaksud Gelasius I dapat berjalan karena ada pemisahan antara Gereja dan negara. Manusia ataupun masyarakat dapat merasakan kejelasan hidup, yaitu antara hidup untuk yang benar, untuk bonnum commune, dan ketertiban umum, public order. Gereja dan negara saling terpisah dan juga saling membantu dalam membangun masyarakat yang modern. Namun, yang menjadi fokus utamanya adalah masyarakat. Manusia tidak akan dibingungkan dengan siapa yang harus mereka taati, Gereja atau negara. Adanya kristianitas bukan untuk mempersulit hidup bermasyarakat karena muncul satu pemimpin selain negara. Pemisahan ini harus ada karena status ontologis yang berbeda antara negara dan Gereja terhadap masyarakat.


Permasalahan yang pernah terjadi karena tidak ingin ada campur tangan dari Gereja. Kerajaan menjalankan monarki absolut di mana raja/kaisar adalah sekaligus pemimpin sipil dan spiritual. Paham ini tidak lagi dua, melainkan satu. Mulai abad 17 paham satu mulai berkembang dengan model kerajaan absolut dan pada abad 20 pandangan Gelasius tidak lagi dianggap. Yang ada adalah masyarakat yang satu. Hukum, otoritas, intelektual, agama, dan moral diurus negara.
Marx juga menyatakan hal yang sama di mana ia menolak peranan Gereja dalam hidup bermasyarakat. Menurutnya negara dan Gereja selalu berbenturan dan akan selalu memperburuk keadaan. Menurutnya, sesuai yang dikutip Hocking, hanya satu yang memerintah dunia ini.


Dengan demikian, yang ada adalah satu masyarakat, satu hukum, dan dengan satu kekuasaan, masyarakat yang sama. Modernitas telah membuat paham Gelasius ini heresi dan tidak digunakan lagi. Gambaran masyarakat demokratis menjadi satu dalam struktur dan sekular dalam substansinya. Hal ini merupakan hasil dari modernitas politis. Tentu saja, bagi Murray ini mengherankan karena Gereja, lewat Gelasius, berjuang untuk memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak dalam masyarakat. Negara bukanlah masyarakat, negara hanya sebagian dari masyarakat sehingga, menurut Murray, tidak boleh menjadi satu.


Dengan modernitas sekarang ini, hidup bermasyarakat menjadi sulit. Manusia hanya ikut negara dan bukan ikut dirinya sendiri. Komunisme makin mempersulit keadaan karena menuntut satu dengan negara. Komunisme telah membalik paham Gelasius. Paham kebebasan dan keadilan ikut paham negara, bukan berangkat dari diri manusia, hati nuraninya.


Namun yang terjadi, dalam negara modern, paham satu ini terbukti impoten. Nilai bersama, pendidikan, kontrol ekonomi, moralitas umum, keadilan dan hukum telah terbukti tidak kompeten karena manusia menjalankan semua ini karena urusan negara, secular. Tidak berkaitan dengan nilai transendental manusia. Yang memang dibutuhkan adalah motivasi diri manusia untuk self-ruled, self-contained, dan self motivating. Inilah peranan Gereja dalam memberikan kebebasan pada manusia sehingga hal-hal moral/praktis hidup sehari-hari menjadi lebih bernilai dan bermakna, muncul dari diri manusia sendiri. Manusia memiliki kesadaran untuk yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat karena sisi transendentalnya.


Namun, Murray merasakan adanya kerancuan. Menurutnya modernitas hanya menolak kebenaran dari wahyu ilahi, yang merupakan sisi esensial Gereja. Romano Guardini juga menyatakan hal yang sama bahwa ada pnghianatan dari struktur eksistensial suatu realitas yang berasal dari Gereja. Modernitas sebenarnya tidak menolak apa yang diajarkan Gereja, yaitu mengenai nilai-nilai moral, individual dan sosial. Setidaknya paham res sacra homo masih bergema dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai ini telah menjadi imanen dalam diri manusia dan bahkan telah menjadi milik manusia. Kristianitas dalam modernitas mungkin tidak kelihatan namun penampakan daya tariknya menjadi sesuatu yang dinamis dalam kebebasan dan keadilan di dunia ini. Res sacra homo kini berada dibawah patron baru, modernitas.

Doa Air Ignatius

St. Ignatius pelindung agung,
Tatkala engkau masih hidup di dunia ini, St. Filipus Neri, murid dan sahabatMu mengatakan bahwa Engkau akan menjadi pelindung istimewa para ibu dan mereka akan engkau berkati pada waktu melahirkan anak, jika mereka mohon perlindunganmu. Perkataan santo yang mulia itu sudah dibenarkan secara mengagumkan dan setiap hari terbukti kebenarannya. Sebab itu, kami pun, dengan penuh pengharapan memohon kepadamu, sudilah memohonkan kepada Tuhan, supaya anak kami boleh lahir dengan selamat. Ya santo yang berkuasa dan penuh kasih sayang, janganlah mengecewakan pengharapan kami. Engkau tahu bahwa harapan kami hanya satu, yakni mendidik anak kami untuk Tuhan, jika dikaruniakan Tuhan kepada kami. Kami serahkan anak kami, supaya seumur hidup-nya, ia tetap setia mengabdi kepada Tuhan dan memuji serta memuliakan namaNya selamanya. Kabulkanlah doa kami agar kami boleh menerika karunia itu.
Sekarang kami berjanji, agar anak yang dikaruniakan Allah kepada kami ini, akan kami persembahkan kepada Hati Yesus yang Mahakudus, dan kami letakkan di bawah perlindunganMu sebagai bapa. Semoga anak ini mengukuhkan janji setia perkawinan kami, agar kami bersama seluruh keluarga senantiasa memuliakan Allah sepanjang segala masa.
St. Ignatius, doakanlah kami. Amin.

--Doa St. Ignatius (Ambilah dan Terimalah/Jiwa Kristus), diakhiri dengan doa Bapa Kami, kemudian, air dimunum--

Thursday, September 10, 2009

St. John de Britto


John de Brito (João de Brito, 1647-1693) was one of the earliest Jesuit missionaries in India to adopt elements of the local culture in his evangelization. He was eventually martyred because of his success and his steadfast refusal to accept honors and safety. He was born of Portuguese aristocracy and became a member of the royal court at age nine and a companion to the young prince later to become King Peter II. When de Brito was young, he almost died of an illness and his mother vowed he would wear a Jesuit cassock for a year if he were spared. He regained his health and walked around court like a miniature Jesuit, but there was nothing small about his heart or the desire that grew to actually become a Jesuit. Despite pressure from the prince and the king, he entered the Jesuit novitiate in Lisbon Dec. 17, 1662 when he was only 15 years-old. He studied classics, with an interruption because of health problems, then philosophy. He wrote to the superior general in 1668 asking to be sent to the east as a missionary, but had to finish theology first. He was ordained in February 1673 and left Lisbon for Goa in mid-March, arriving the following September. He studied more theology in Goa and was asked to remain as a teacher but he desired to be a missionary and to seek the glory of martyrdom.Father de Brito worked in Madura, in the regions of Kolei and Tattuvanchery. When he studied the India caste system, he discovered that most Christians belonged to the lowest and most despised caste. He thought that members of the higher caste would also have to be converted for Christianity to have a future. He became an Indian ascetic, a pandaraswami since they were permitted to approach individuals of all castes. He changed his life style, eating just a bit of rice each day and sleeping on a mat, dressing in a red cloak and turban. He established a small retreat in the wilderness and was in time accepted as a pandaraswami. As he became well-known, the number of conversions greatly increased.

He was made superior in Madura after 11 years on the mission, but he also became the object of hostility from Brahmans, members of the highest caste, who resented his work and wanted to kill him. He and some catechists were captured by soldiers in 1686 and bound in heavy chains. When the soldiers threatened to kill the Jesuit, he simply offered his neck, but they did not act. After spending a month in prison, the Jesuit captive was released. When he got back to Madura, he was appointed to return to Portugal to report on the status of the mission in India. When he reached Lisbon ten months later, he was received like a hero. He toured the universities and colleges describing the adventurous life of an Indian missionary. His boyhood friend and now-king, Peter II noticed how thin, worn and tired his friend looked; he asked him to remain at home to tutor his two sons, but de Brito placed the needs in India above the comfort of the Portuguese court.

De Brito sailed again to Goa and returned to the mission in Madura when he arrived in November 1690. He came back despite a death threat that the raja of Marava had made four years earlier. The Jesuit missionary travelled at night from station to station so he could celebrate Mass and baptize converts.

His success in converting Prince Tadaya Theva indirectly led to his death. The prince was interested in Christianity even before the prayers of a catechist helped him recover from a serious interest. De Brito insisted that the prince could keep only one of his several wives after his baptism; he agreed to this condition, but one of the rejected wives complained to her uncle, the raja of Marava who sent soldiers to arrest the missionary on January 28, 1690. Twenty days later the raja exiled de Brito to Oriyur, a neighboring province his brother governed. The raja instructed his brother to execute the troublesome Jesuit who was taken from prison on February 4 and led to a knoll overlooking a river where an executioner decapitated him with a schimitar.

Monday, September 7, 2009

Peter Claver


St. Peter Claver, S.J., whose saint day is sept 9, was a Jesuit sent to Colombia in the late 16th century. He spent his time on the wharf, welcoming the ships and caring for the slaves being brought to South America. Can you imagine what the holds of those ships were like…and what condition many of the slave men, women and children were in? He found ways to “feed the hungry, find shelter for some, tend their wounds and bury their dead.” One of his verses is: “Seek God in all things and we shall find God by our side.” His life surely praised God. His wealth was in service to others. Peter Claver devoted great care to slaves just arriving in South America despite the social convention that did not consider them human. Claver first encountered Jesuits in Barcelona during his university studies. He entered the Society of Jesus in 1602 and studied philosophy on the island of Majorca at the college of Montesión whose doorkeeper, Brother Alphonsus Rodríguez, was already known for the holiness that would later be recognized by the Church when it canonized him. The saintly brother encouraged the young Jesuit's desire to do something great for God and suggested he consider being a missionary in the New World.


Claver offered himself for the missions, and the provincial sent him to Colombia in 1610. After he finished his study of theology in Bogotá, Claver went to Cartagena on the Caribbean coast where he was ordained a priest in 1616 and where he would spend the rest of his life ministering to slaves who arrived in that port from Africa. Cartagena was one of two Spanish ports designated to receive slaves; an estimated 10,000 of whom passed through the port each year during Claver's time. They were usually in horrible condition after the long voyage. Claver waited on the dock with food he had begged. Accompanied by former slaves who served as interpreters, the Spanish Jesuit then boarded the ships and greeted those on deck before descending into the ship's hold to care for the sick. He cleansed wounds, applied ointment and bandages and spoke about God. Slaves only remained in Cartegena for a few days, so Claver worked very quickly to prepare people for baptism. Instruction was necessarily limited, and Claver baptized a great number of slaves. He also visited hospitals, one of which cared for lepers, and saw Dutch and English prisoners of war. A plague struck Cartagena in 1650, and eventually took Claver as a victim after he had cared for others afflicted by the disease.


In the light of GC 35, we see Peter Claver as a great example of going to frontiers. He found God through his inner spirit to the poor and by obidence he cratively mind his mission, to the slaves. Mission and obidience, in GC 35, ask us to realize that the Creator and Lord in person communicates Himself to the devout soul in quest of divine will. God will not only lead a man to what He wants done, but will also inflame with His love and praise, and dispose it for the way in which could better serve, to the frontiers. Joe Tetlow, a spiritual director, wrote that the fullness of Jesuit spirituality leads a man to union with God-acting, and with God acting everywhere in the cosmos. So, the Jesuits is prepared to go anywhere at any time and to do anything within his capacity to do, going even to those physical and spiritual places which others do not reach or have diviculty in reaching. This union can come only with constant effort to know Him better, love Him more, and follow Him more closely.


Peter Claver as a man sent by God did his mission in a great obidience and a fully love to the needs. He became one with God through his prayers to take hand a very distracted people and became an opposition with the authority, the rich. He eased the slaves, cared to the sick, and ready to be not entrusted. In our mission, I think, we really do not need to quest our obidience but through obidience we become the hands of God in the frontiers.

Saturday, August 29, 2009

Carl Smitt: Tindakan Kekerasan

Kehidupan pada zaman liberal merupakan bentuk kehidupan yang monoton, menurut Carl Schmitt, karena segalanya diseragamkan dan dihomogenkan oleh hukum. Hukum telah menjadikan kehidupan juga bersifat birokratif dan administratif. Carl Schmitt dengan pandangan politiknya ingin berpaling dari kehidupan ini. Ini ingin manusia hidup dalam perjuangan dan keberanian asalinya di mana dengan begitu manusia mampu menemukan eksistensi dirinya. Maka dari itu, Schmitt mengkritik liberalisme sebagai belenggu keberanian dan kekuatan manusia (=massa). Dalam hidup bernegara hubungan masyarakat dengan negara harus ditandai dengan Yang Politis dan bukan hukum. Inilah intensi Schmitt dalam filsafat politiknya yaitu melestarikan Yang Politis. Yang Politis harus mengatasi segalanya, termasuk hukum atau dengan kata lain konsep negara itu mengandaikan konsep tentang Yang Politis .
Dalam praktek-praktek politis, Yang Politis juga memposiskan diri. Ia berada dalam setiap gerak negara. Yang Politis ada dalam keputusan subjek kedaulatan dan juga dalam tindakan kekerasan. Konsep masyarakat Schmitt adalah masyarakat yang membutuhkan pegangan ketika khaos. Manusia digambarkan jahat dan berbahaya, namun dapat takut oleh otoritas (subjek) kedaulatan. Tindakan kekerasan itu bagai antinomi kawan dan lawan. Dengan konsep seperti ini, Schmitt beranggapan bahwa masyarakat yang berada dalam antinomi ini membutuhkan arah angin atau keputusan sang subjek. Keputusan yang akan membawa mereka pada kehidupan baru yang lepas dari yang sebelumnya. Namun masa ini tidaklah terjadi sekali sehingga sebjek kedaulatan membutuhkan tindakan kekerasan untuk tetap bisa mempertahankan kedaulatannya atau dengan kata lain distingsi kawan dan lawan itu akan terjadi terus menerus.

Dalam paper ini saya akan memfokuskan pada keputusan subjek kedaulatan dan kekerasan menurut Carl Schmitt. Buku yang saya acu adalah “The concept of the Political” dari Carl Schmitt yang sepertinya berbicara tentang tindakan itu sendiri dan juga mengenai keputusan sang subjek kedaulatan atas keadaan darurat . Pada awal saya akan memaparkan mengenai latar belakang dari pemikiran Carl Schmitt yaitu bagaimana zaman modern di masanya telah membuatnya berpikir mengenai negara yang mengucilkan Yang Politis. Kemudian akan dilanjutkan dengan pemikiran Carl Schmitt akan keputusan subjek kedaulatan dan tindakan kekerasan sebagai wujud konkrit kedaulatan. Di akhir saya akan menyimpulkan dan memberi tanggapan kritis yaitu mengenai apakah kedaulatan satu orang mampu membentuk stabilitas suatu negara? Apakah kekerasan benar-benar mampu membangkitkan yang politis? Apakah dengan pemikiran ini kita masuk ke dalam kediktatoran baru?

LATAR BELAKANG
Pemikiran politik Carl Schmitt atas keputusan subjek kedaulatan dan kekerasan massa merupakan suatu kritik terhadap liberalisme, konsep negara hukum yang dikembangkan pada zaman modern. Menurutnya, liberalisme telah gagal atau berakhir . Liberalisme telah membawa kita pada zaman neutralisasi dan depolitisasi. Ini karena hukum telah mensistematisasi segalanya, termasuk tindakan dan keputusan. Semuanya menjadi berproses secara homogen dan seragam menurut mekanisme birokratis negara. Hidup manusia pada masa itu menjadi datar dan tanpa resiko. Konsep negara hukum yang merupakan ciri khasnya dan berserta sistem-sistemnya lebih diprioritaskan daripada yang politis. Keputusan-keputusan yang politis juga berada di bawah konsep negara. Liberalisme telah membawa negara pada kejanggalan setiap tindakan dan keputusan yang politis.

Zaman modern terlalu bergerak dengan hukum, tergantung pada rasionalitas operasional dan bukan pada kekuasaan dan kedaulatan. Negara dengan hukum telah bergerak secara mekanistis dan itu mengurangi kekhasan dari suatu negara. Tak ada lagi kemungkinan yang dapat menspesifikasikan suatu negara karena segalanya telah menjadi homogen. Pada zaman seperti ini, Schmitt beranggapan, Yang Politis tidak mendapat tempatnya dalam masyarakat. Yang politis telah dikuburkan oleh hukum-hukum negara. Akhirnya, arti negara menjadi status politis dari suatu bangsa yang teratur dalam suatu teritori. Dalam hal ini politik itu identik dengan negara .

Schmitt menyatakan bahwa konsep negara itu mengandaikan konsep tentang Yang Politis. Politik seharusnya tidaklah identik dengan negara melainkan mengatasi negara. Bagi Schmitt, identifikasi antara politik dan negara hanyalah salah satu momen historis dan tidak bersifat abadi seperti yang digariskan oleh liberalisme. Yang politis mendahului dan mengatasi yang lain, yaitu negara dan masyarakat. Maka apa yang memang diperlukan, menurut Schmitt, adalah tergantikannya pemikiran liberal yang sistematik dan konsisten itu dengan sistem lain yaitu sebuah sistem yang tidak menegasi yang politis melainkan yang mampu membawanya kepada pengakuan (recognition) . Intensi Scmitt dalam proyek ini adalah untuk menyelamatkan yang politis dan mengembalikannya pada martabatnya yang sesungguhnya.

KEPUTUSAN SUBJEK KEDAULATAN
Untuk memahami lebih jelas mengenai keputusan subjek kedaulatan, penulis akan menganalogikannya dengan keputusan seorang hakim. Dalam memutuskan suatu perkara ada dua model hakim dalam pengadilan kita, yang satu adalah hakim yang hanya ikut tata cara hukum yang berlaku dalam memutuskan dan hakim yang lain adalah hakim yang adil dan berani memutuskan sesuatu atau membuat putus yang kadang lepas dari tata cara hukum yang berlaku. Prinsip keputusan Schmitt ada pada model yang ke dua di mana sang hakim dengan kemampuannya berani mengambil sikap dan tidak seturut dengan hukum yang ada. Peristiwa pengambilan keputusan ini disebut sebagai momen pengambilan keputusan atau momen yang tak terduga.

Keputusan sang subjek kedaulatan selalu merupakan keputusan yang tidak terikat pada apapun. Keputusan tersebut berasal dari ketiadaan (ex nihilo), karena tanpa dasar, tanpa sumber asli, dan tanpa pola yang dapat didugai. Keputusan yang dibuat oleh subjek kedaulatan versi Schmitt seperti halnya lompatan (sprung) dalam permenungan Kierkegaard. Di sini Schmitt ingin menunjukan bahwa adanya keputusan subjek kedaulatan pada akhirnya tak lain daripada sesuatu yang arbiter atau ada dikontinuitas dengan tindakan memutuskan dengan masa lalu . Keputusan ini lepas dari norma-norma hukum kodrat maupun norma-norma hukum positif (=desisionisme ).

Dalam bernegara keputusan seperti ini sangat penting, terutama dalam membangkitkan yang politis. Schmitt menyatakan bahwa tatanan yang politis itu lahir dari keputusan. Hukum yang menghomogenkan atau menyeragamkan tidak mengangkat yang politis melainkan menjadikannya indentik dengan hukum tersebut. Schmitt menolak ini dan menyatakan bahwa negara haruslah tertata dengan hukum di mana negara tersebut selalu berada dalam konflik. Maka dengan adanya konflik, di mana manusia oleh Schmitt dikatakan berbahaya, harus ada otoritas tertentu atau yang politis agar tatanan politik atau hukum dapat tercipta.

Keputusan dan subjek yang (akan) berdaulat akan memiliki peranan penting ketika berada pada keadaan darurat. Dalam keadaan darurat ini momen keputusan sangat diharapkan untuk dapat menata negara. Di sini jugalah yang politis mendapatkan peranannya. Manusia dalam keadaan darurat mulai terlihat jati dirinya yang asli. Khaos merupakan keadaan yang tepat untuk menggambarkan pemikiran Schmitt ini. Maka, dalam keadaan yang serba tak menentu ini masyarakat membutuhkan suatu pegangan untuk mengarahkan diri. Oleh Schmitt, masa seperti inilah yang harusnya dimanfaatkan subjek kedaulatan dengan membuat keputusan. Akhirnya yang terjadi, masyarakat yang berada dalam khaos menjadi tertata dan subjek yang berdaulat menjadi sumber konstitusi . Yang berdaulat adalah, barangsiapa yang mengambil keputusan atas keadaan darurat .

TINDAKAN KEKERASAN
Kekerasan dalam pengertian Schmitt hampir sama dengan pemahaman dari Hobbes. Hobbes dengan state of nature-nya memandang adanya konflik antar individu dikarenakan manusia yang dilahirkan jahat dan berbahaya. Manusia adalah mahluk yang berbahaya dan oleh karena itu haruslah dijinakan dengan sebuah tatanan hukum. Oleh Schmitt pandangan ini diangkat dan disempurnakan bahwa kejahatan manusia harus dilunakkan lewat otoritas dan ancaman kekerasan. Namun, pandangan Schmitt dalam kekerasan ini tidaklah merupakan konflik antar pribadi dan kelompok melainkan konflik antar massa (the social).

Kekerasan massa dalam khaos yang merupakan wujud dari keadaan darurat dapat diselesaikan oleh subjek kedaulatan dengan membuat suatu keputusan atau suatu bentuk kekerasan yang lain. Keputusan di sini mengatasi khaos, mengatasi situasi nol dan menjadi pangkal segalanya yang datang kemudian atau momen di mana kekerasan menemukan eksistensinya. Dengan adanya kekerasan maka yang politis menjadi ada dan tidak lagi terkubur oleh hukum yang birokratif dan administratif.

Kemudian untuk memahami kekerasan yang kemudian akan mendaulatkan Yang Politis ini, Schmitt membuat suatu distingsi yang khas dan bersifat final, yaitu distingsi antara kawan dan lawan. Dalam setiap pandangan pasti ada yang final, misalnya dalam moralitas yang final itu adalah distingsi antara “good” dan “evil” dan dalam estetika ada “beautiful” and “ugly”. Kemudian yang final dari Yang politis itu terdapat dalam distingsi antara “friend (kawan)” dan “enemy (lawan)” itu sendiri. Konsep kawan dan lawan ini bukanlah suatu metafor ataupun simbol melainkan konsep yang harus dimegerti dalam pandangan yang konkrit dan eksistensial . Kawan dan lawan dalam realitasnya selalu bersifat antinomi. Timbulnya antinomi kawan dan lawan mengatasi konsep-konsep yang terdapat dalam masyarakat, seperti moralitas, ekonomi, estetika, dll. Dalam memahami moralitas, ekonomi, dan konsep lainnya kita harus masuk terlebih dahulu ke pandangan Yang Politis, antinomi antara kawan dan lawan. Antinomi ini sangatlah mewarnai Yang Politis dalam mengembangkan masyarakat dan negara. Antinomi ini adalah derajat intensitas yang paling ekstrim yang mampu menghisap segala antinomi lain ke dalam wilayahnya. Maka, distingsi ini secara total menjadi dasar tindakan-tindakan dan motif-motif politis.

Konsep lawan, menurut Schmitt, bukanlah konsep seseorang menjadi “competitior” atau musuh pribadi melainkan sebagai partner dalam konflik . Seorang lawan hanya ada jika terjadi suatu konfrontasi secara kolektif. Konflik akhirnya menjadi khaos dan ini disebut sebagai masa krisis namun kemudian, oleh Schmitt, diharapkan ada “order” setelah dibuat suatu keputusan. Maka antinomi antara kawan dan lawan merupakan prinsip diferensiasi yang mengawali lahirnya sebuah sistem.

Konsep lawan tidak bisa bersikap netral. Jika demikian maka Yang Politis akan berakhir dan kemudian jatuh pada neutralisasi dan depolitisasi yang akan membuat masyarakat menjadi datar. Maka untuk menjadikan Yang Politis tetap hidup, Schmitt menyatakan, bahwa kekerasan (perang) haruslah menjadi salah satu kemungkinan . Dunia yang tanpa ada kemungkinan untuk berperang atau dunia yang memang sudah damai dan tenang, oleh Schmitt, dikatakan sebagai dunia yang tanpa distingsi antara kawan dan lawan dan ini juga berarti dunia tanpa Yang Politis. Maka untuk tetap menghidupi dunia (negara) Yang politis harus tetap dikembangkan di mana sang subjek kedaulatan selalu siap sedia membuat keputusan dalam keadaan krisis. Kekerasan harus siap sedia setiap saat.

KESIMPULAN DAN TANGGAPAN
Melihat uraian Schmitt di atas yang merupakan ciri khas distingsi antara kawan dan lawan ternyata mampu menggerakan tindakan kekerasan sang subjek kedaulatan. Hal ini kemudian bisa membenarkan praktek militerisme yang kerap terjadi dewasa ini. Di sini individu dimasukan ke dalam kolektivitas dan kemudian kolektivitas itu diajak untuk melawan kolektivitas yang lain. Massa dimobilisasi melawan masa, individualitas tak ada lagi dan darah dijadikan lambang kekuatan kedaulatan. Suatu negara mendeferensiasikan diri dari negara yang lain. Perdamaian antara kawan dan lawan tidak dinyatakan sebagai sebuah akhir yang abadi melainkan hanya suatu masa di mana di kemudian hari akan terjadi konflik kembali. Hal ini ditujukan untuk menciptakan krisis atau keadaan darurat sehingga sang subjek kedaulatan dapat membuat keputusan untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam pandangan ini, titik puncak politik agung merupakan momen terlihatnya lawan dalam segala kekonkretannya sebagai lawan dalam suatu tindakan kekerasan. Kekerasan tidak pernah lepas dari keputusan sang subjek kedaulatan. Keduanya berkerja bersama untuk menyelamatkan Yang politis dan menempatkannya sesuai dengan martabatnya.

Filsafat Politik Schmitt memang mengagumkan. Ia menginginkan dunia ini tetap berjalan dengan penuh perjuangan dan mencoba menghindar dari positivisme yang mendatarkan kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Ia mencoba membuat manusia keluar dari hukum-hukum yang mengatur kehidupan mereka. Dengan bangkitnya Yang Politis manusia akan bisa menemukan kegairahan dalam perjuangan entah dengan pertentangan ataupun perang, sebagai penyelesaian yang ekstrim. Semuanya berjalan menuju suatu “order” yang diinginkan, terutama yang diinginkan oleh sang subjek kedaulatan. Keputusan sang subjek kedaulatan menjadi titik pijak dalam menata negara di kemudian hari.

Saya pribadi menyatakan teori ini sebagai teori metafisis yang cemerlang dan yang mau membawa dunia kepada pengatur atau pemimpin yang tunggal di mana pemimpin itu adalah subjek yang mampu membuat keputusan yang berkualitas dan bermartabat. Jika ini terjadi maka dunia akan menjadi teratur dan selalu berkembang. Namun, kecenderungan buruk bisa saja terjadi ketika dengan teori ini satu orang atau sang pemimpin itu sendiri mampu mendapatkan kedaulatan dan mayoritas kehilangan jati diri dan juga kedaulatannya. Tambah lagi, kekerasan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk mewujudkan kedaulatan dan membuat keputusan. Keadaan darurat sepertinya bukan kondisi yang alami terjadi melainkan hasil kreasi untuk memposisikan yang politis.

Maka, setelah mempelajari filsafat politik ini dan membaca beberapa literatur yang membantu, saya beranggapan bahwa dengan keputusan yang dibuat oleh sang subjek kedaulatan dalam mengatasi kekerasan atau keadaan darurat sepertinya tidak mencerminkan keadilan. Keputusan yang dibuat oleh satu orang dan harus ditaati oleh sekelompok orang bisa bersifat arbitrer dan subjektif pada dirinya, bila diselewengkan. Jika demikian, pandangan desisionisme ini mengafirmasi kediktatoran di mana hal tersebut bisa dipimpin oleh pihak yang menang dan kuat entah itu segerombolan orang jahat. Kalau begini prosesnya, maka keadilan tak akan tercapai. Keadilan merupakan ciptaan dari penguasa. Tambah lagi, tak adanya sistem dalam negara ini akan membuat stabilitas mudah goyah. Sistem harus dibentuk dan dikuatkan dan ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa begitu saja dihilangkan hanya untuk membuat keputusan yang sprung dan demi Yang Politis.

Adanya dikotomi kawan dan lawan sepertinya membuat hidup di dunia ini tidak aman. Memang dasar pemikirannya adalah manusia yang jahat, namun adanya martabat manusia yang jahat tidak selalu akan mencerminkan suatu permusuhan. Bisa saja ada persahabatan di antara yang jahat. Antinomi kawan dan lawan dalam pemikiran Schmitt saya rasa sangatlah mereduksi apa yang dinamakan persahabatan. Dunia sepertinya tidak selamanya dan secara keseluruhan hidup dalam konflik. Pasti ada beberapa sisi baik yang diwujudkan. Salah satunya adalah cinta, bisa saja dunia ini diciptakan atas dasar cinta (universal) di mana dengan berdasar pada itu keadilan dan keutamaan yang lain teratasi.

Friends





Wednesday, August 26, 2009

YESUS KRISTUS ILAHI


Sebagai orang Asia dan orang dari wilayah India khususnya, Tissa mempunyai kelekatan yang sangat kental dengan segala budaya, alam pikir dan karakter spiritualitas di tempatnya. Maka kiranya, teologi Tissa banyak dipengaruhi oleh bentukan-bentukan kultur dan paradigma religius yang dihayatinya.


Kenyataan yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa sebagian negara-negara Asia, termasuk Sri Lanka merupakan negara jajahan. Menurut Tissa penghayatan iman kristiani sangat dipengaruhi oleh masa pendudukan penjajah atau masa imperalisme. Tiga tipikalitas orang Sri Langka dalam mengungkapkan iman identik dengan kesederhanaan, menjunjung tradisi dan bersifat konservatif. Demikian juga cara beriman orang kristiani. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan kristianitas yang tumbuh di Sri Lanka adalah buah warisan kaum ”penjajah”.
Bagi Tissa pusat teologi masih berkisah soal agama kristen sebagai satu-satunya keselamatan. Pada waktu itu Gereja dipandang masih menyakini bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Oleh karena itu Kristianitas di Asia adalah iman yang aneh dan asing bagi kebanyakan masyarakat Asia. Maka, Gereja Kristen di Sri Lanka berusaha menarik sebanyak mungkin orang ke dalam tubuh Gereja. Di sinilah kemudian muncul persoalan besar yang dihadapi Gereja Asia pada umumnya dan Sri Lanka khususnya dalam mendaratkan iman. Di satu sisi, agama kristen merupakan kelompok minoritas, namun di belahan dunia yang lain superior di antara agama serta kepercayaan plural di Asia. Singkatnya menurut Tissa, Gereja mesti ”membebaskan” teologi yang dimiliki dari traktat Barat yang dirasa sangat asing bagi orang Asia itu, agar teologi sungguh mendarat di Asia. Untuk memahami pandangan Tissa Balasuriya kami sajikan beberapa pandangan yang diungkapkan beliau. Berikut ini akan kami sajikan pembahasan mengenai teks Yesus Kristus ilahi. Teks tersebut dipilih bukan karena kontroversial dalam kaitan dengan pernyataan Kongregasi Ajaran Iman. Namun reaksi-reaksi pada kasus Balasuriya dapat menjadi pertanyaan yang menuntun kita dalam membaca teks berikut.


Tissa mengajak kita bila ingin berbicara tentang Yesus Kristus, terlebih dahulu mesti mencari gambaran serta pengertian Yesus Kristus dalam Kitab Suci Kristiani. Terdapat sejumlah gambaran dan pengertian Yesus Kristus dalam Kitab Suci Kristiani:
1) Yesus, yang dilahirkan oleh Perawan Maria, di Betlehem, pada saat tertentu sejarah;
2) Kristus, yang diurapi, yakni dinantikan oleh orang Yahudi sebagai Mesias, ‘Raja orang Yahudi’ yang memulihkan kerajaan Israel ( Mrk 15, 26. 32; Kis 1,6 dst)
3) Pribadi kedua dalam Trinitas-Logos, Sang Sabda, yang dikenal sebagai Yesus Kristus atau Kristus Yesus. Sang Sabda ada pada awal, sebelum segala sesuatu dan, menurut injil Yohanes, segala sesuatu diciptakan dalam Sang Sabda dan untuk Dia;
4) Orang yang dibaptis dalam Kristus, mengenakan Kristus (Gal 3,27); Kristus terbentuk di dalam mereka (Gal 4,19); orang kristiani diinkorporasi dalam Gereja (Rom 6,11), agar hidup dalam Kristus (Flp 1, 21).

Puasa dan Olah Raga



Jangan khawatir kalau ingin Olah Raga ketika Anda berpuasa. Itu malah sehat dan sebaiknya dilakukan setiap hari, entah setelah sahur maupun sebelum berbuka. Lamawaktunya bisa disesuaikan dengan keinginan Anda.

Puasa jika diisi hanya dengan nonton ataupun melamun akan sia-sia saja. Isilah dengan olah raga yang akan semakin membuat Anda bugar dan tidak kehilangan kesegaran tubuh. Jangan olahraga berlebihan dan jangan takut haus. Setidaknya pikirkan kalau olah raga dan puasa itu sangat bermanfaat.

Dengan berolahraga, Anda akan menjadi semakin fit karena metabolisme tubuh Anda akan berjalan baik. Namun jika puasa hanya diisi dengan melamun maka tubuh akan terus loyo dan lemas karena lemak akan semakin tertimbun.




Wednesday, August 19, 2009

Thursday, July 23, 2009

Percikan yang Menyalakan Kobaran


Tahbisan SJ 2009

29 Juli 2009, pk 09.00
oleh. Mgr. I. Suharyo, Pr
di Gereja Antonius Padua,
Kota Baru, Yogyakarta

Yang Berbahagia:
1. Managam Tua Simbolon
2. A. Suharyadi
3. Budi Nugroho
4. Rumanto
5. Bagus T Dwiko
6. Handy Lenggawa

Saturday, July 11, 2009

150 tahun SJ di Indonesia

Pada tanggal 9 Juli 1859 tibalah di Batavia kedua Pater Misionaris Jesuit yang pertama, yakni Pater M vd Elzen dan Pater JB Palinckx. Di pasturan mereka menjumpai Mgr. PM Vrancken serta dua orang imam projo.... Di Jakarta para pastor telah dibantu oleh Suster-Suster Ursulin yang bertempat tinggal di "Groot Klooster" di jalan Nusantara. Pastor-pastor di Jakarta waktu itu sudah tinggal di pastoran yang sekarang ini masih dipergunakan dan sudah mempunyai pula suatu gereja kecil, tapi manis disebelahnya.

Penyerahan daerah misi ke Serikat membawa keutungan yang lain pula, yaitu: dengan Pater-Pater itu ikut pula Bruder-Bruder Serikat. Pada tahun-tahun yang berikutnya dan istimewa waktu memasang patok, ketika stasi-stasi baru didirikan, tenaga-tenaga Bruder itu membuktikan faedahnya yang amat besar bagi karya Misi ... dengan memimpin pembangunan sekolah, pastoran, atau gereja.

Pada tahun 1865 Pater Palinckx dipindahkan ke Jogja untuk mendirikan suatu stasi baru. ia dipertugaskan untuk memelihara para katolik yang hidup bersebaran di Kedu, Bagelan, dan Banyumas. Gereja sementara yang pertama ialah suatu pondok bambu dekat kraton. Pada tahun 1867 gerejanya itu roboh karena gempa yang hebat. Orang kuat ini sekarang di jogja pun dengan tiada takut bahaya menundukan kepahlawanannya dan pengorbanan diri dengan memberikan pertolongan sebanyak mungkin.

Pada akhir tahun itu ia telah dapat menyelesaikan gereja daruratnya yang baru pula, yang lebih kokoh, yaitu pastoran dan gereja Fransiskus Xaverius yang sekarang masih dipergunakan. ketika pada tahun 1870 Mgr. Vrancken meninggalkan Indonesia karena sakit, kehidupan misi sudah jauh lebih berpengharapan. Angin badai yang telah menimpanya sudah reda pula. Bahtera Santo Petrus yang kerusakan itu telah dapat melanjutkan perjalanan di ombak lautan teduh. Selama pemerintahannya telah datang ke Indonesia 31 imam projo dan 15 imam Jesuit. Sejak masa itulah dapat kami berkata tentang "Memancang Patok".

Dikutip dari "Memancang Patok"
dalam Seratus Tahun Misi. Vikariat Provinsi Indonesia.





Sunday, July 5, 2009

Saturday, June 6, 2009

MAZMUR 23


TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.


Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;

Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.

Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.
ANALISA TEKS

Mazmur yg paling dikenal dan disenangi oleh umat Yahudi dan umat Kristen sepanjang sejarah. Mazmur syukur, bersyukur pd Tuhan atas segala perlindungannya sampai kini.

1-4 gembala berjuang mendampingi domba2nya. Dan harus memiliki sifat kemahiran, tahu dimana cukup rumput dan air, dan perhatian, menomor satukan kawanan dari binatang buas dan pencuri. Tuhan dibandingkan dgn gembala. Ibarat perjalanan melalui jalan yang “benar” yakni jln yg paling mudah dan aman dibawah bimbingan Tuhan. Ay. 4 hidupnya tidak selalu mudah dan tanpa kesusahan. Selalu ada bahaya, kesusahan, dan ancaman. Perlindungan senantiasa melawan bahaya dari luar dan melawan bahaya yg berasal dari domba sendiri.

5 Tuhan: tuan rumah, pemazmur: tamu agung. Seperti adam melayani ketiga tamunya dlm perjamuan syukur.

6 dua pelayan dari Tuhan kebajikan (=kebaikan) dan kemurahan belaka (=kasih setia). Dpt tinggal di rumah Tuhan, tinggal di kompleks kenisah atau tinggal dalam suasana dan kedekatan rohani dgn Tuhan.

MAZMUR 74


Mengapa, ya Allah, Kaubuang kami untuk seterusnya? Mengapa menyala murka-Mu terhadap kambing domba gembalaan-Mu?


Ingatlah akan umat-Mu yang telah Kauperoleh pada zaman purbakala, yang Kautebus menjadi bangsa milik-Mu sendiri! Ingatlah akan gunung Sion yang Engkau diami.


Ringankanlah langkah-Mu ke tempat yang rusak terus-menerus; segala-galanya telah dimusnahkan musuh di tempat kudus.


Lawan-lawan-Mu mengaum di tempat pertemuan-Mu dan telah mendirikan panji-panji mereka sebagai tanda.


Kelihatannya seperti orang mengayunkan tinggi-tinggi sebuah kapak kepada kayu-kayuan yang lebat,


dan sekarang ukir-ukirannya seluruhnya dipalu mereka dengan kapak dan beliung;
mereka menyulut tempat kudus-Mu dengan api, mereka menajiskan tempat kediaman

nama-Mu sampai pada tanah;


mereka berkata dalam hatinya: "Baiklah kita menindas mereka semuanya!" Mereka membakar segala tempat pertemuan Allah di negeri.


Tanda-tanda kami tidak kami lihat, tidak ada lagi nabi, dan tidak ada di antara kami yang mengetahui berapa lama lagi.


Berapa lama lagi, ya Allah, lawan itu mencela, dan musuh menista nama-Mu terus-menerus?


Mengapa Engkau menarik kembali tangan-Mu, menaruh tangan kanan-Mu di dada?


Namun Engkau, ya Allah adalah Rajaku dari zaman purbakala, yang melakukan

penyelamatan di atas bumi.

Engkaulah yang membelah laut dengan kekuatan-Mu, yang memecahkan kepala ular-ular naga di atas muka air.

Engkaulah yang meremukkan kepala-kepala Lewiatan, yang memberikannya menjadi makanan penghuni-penghuni padang belantara.

Engkaulah yang membelah mata air dan sungai; Engkaulah yang mengeringkan sungai-sungai yang selalu mengalir.

Punya-Mulah siang, punya-Mulah juga malam. Engkaulah yang menaruh benda penerang dan matahari.

Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, musim kemarau dan musim hujan Engkaulah yang membuat-Nya.

Ingatlah ini: musuh mencela, ya TUHAN, dan bangsa yang bebal itu menista nama-Mu.

Janganlah berikan nyawa merpati-Mu kepada binatang liar! Janganlah lupakan terus-menerus nyawa orang-orang-Mu yang tertindas!

Pandanglah kepada perjanjian, sebab tempat-tempat gelap di bumi penuh sarang-sarang kekerasan.

Janganlah biarkan orang yang terinjak-injak kembali dengan kena noda. Biarlah orang sengsara dan orang miskin memuji-muji nama-Mu.

Bangunlah, ya Allah, lakukanlah perjuangan-Mu! Ingatlah akan cela kepada-Mu dari pihak orang bebal sepanjang hari.

Janganlah lupa suara lawan-Mu, deru orang-orang yang bangkit melawan Engkau, yang terus-menerus makin keras.

Analisa Teks

• Mzm ini termasuk dalam mzm keluhan kolektif. Dlm mazmur ini umat Allah meratap dan mengeluh tentang keadaan menyedihkan yang menimpa mereka. Thn 587 kerajaan Yehuda dikalahkan Babel, seluruh negeri termasuk Yerusalem dan Bait Suci hancur menjadi puing. Banyak penduduk tewas dalam perang atau dbuang ke Babel. Secara berkala umat di yehuda berkumpul untuk berdoa dan meratap atas nasib berat yang harus mereka pikul. Mazmur ini nampaknya disusun untuk ratap seperti itu. Hanya TUhan yang dapat mengubah keadaan dan kepada dialah doa ini dialamatkan.
• Dalam ratapan dan doa permohonan yang cukup keras ini, umat Israel mengungkapkan seluruh kebingungan mereka. Berhadapan dengan sengsara berat yang sudah lama mereka alami, tanpa melihat tanda-tanda bahwa derita akan berakhir. TUhan harus bertindak demi kemuliaan namanya. Musuh tidak hanya menyengsarakan umat melainkan juga menghina Tuhan dan tempat kediamanNya. Tuhan dapat bertindak karena kekuasaannya tetap nyata di dalam karya penciptaan.

1-2 doa dibuka dgn seruan yang mengungkapkan kesulitan umat. Mengapa…..mengapa? mengapa segala kemalangan terjadi ya Allah.


3-8 meskipun peristiwa penghancuran sudah lama lewat, namun penyair masih mengingat dgn baik. Pemazmur memaparkan kembali segal tindakan kejam dan menghina dr tentara babel terhadap kenisah. Pmzm berharap dengan ‘laporan’ ini Tuhan bertindak cepat demi kemulianNya dan keselamatan Umat.

9-11 ayat ini lebih terperinci dikeluhkan beberapa gejala yang menyatakan bahwa Tuhan tetap jauh dari umat-Nya. Tidak ada nabi yang dapat memberitahukan rencana kehendak Tuhan, berapa lama kemalangan ini berlangsung. Yg sangat menyakitkan=musuh dibiarkan tetap menghojat Tuhan tanpadibalas, seakan Tuhan tidak menggunakan kekuatannya.

12-17 keluhan berhenti dengan ayat ttg lagu pujian. Dalam bgn ini umat memuji. Dlm ay. 11 mereka mengungkap kebingungan hati mereka. Mengapa musuh dibiarkan tetap menghina. Scr spontan kebingungan tsb mendorong ingatan akan kekuasaan Tuhan dalam karya penciptaan. Ingatan tsb mendorong mereka untuk memuji Tuhan yg mengalahkan segala kekuasaan. Ayat2 ini juga menjadi pengakuan akan Tuhan pencipta.. bg bangsa Israel , penciptaan merupakan sebuah aktivitas yang masih terus berlangsun hingga saat ini. Melihat dunia yg teratur=menyaksikan kkuasaan dan kekuatan Tuhan. Ay. 12-17 mrp refleksi yg berhubungan dengan pertanyaan ay.11

18-23 sesudah memji da mengakui kekuasaan Tuhan, dalam penciptaan dan penyelenggaraan Tuhan,umat lebih mendesak lagi kepada Tuhan agar menyelamatkandr. Keadaan yang menyedihkan ini. Dan seoga Tuhan teringat akan perjanjian Sinai (ay.20-23).

Wednesday, May 13, 2009

Debat antara Andreas dan Petrus vs Maria dan Lewi



17:10-20 Pertanyaan dari Andreas. “aku tidak percaya kalau sang Penyelamat telah mengatakan hal-hal ini, sebab sesungguhnya ajaran-ajaran ini adalah gagasan-gagasan yang aneh”. Sang Penyelamat adalah sebutan untuk Kristus Yesus. Pertanyaan Andreas ini merupakan respon atas Pengelihatan dan Pikiran yang didapat Maria dari sang Penyelamat. Maria mengutarakan pengetahuan yang dimilikinya yang berasal dari sang Penyelamat sebagai sebuah vision. Andreas menjadi tidak percaya karena Maria mengutarakan penglihatannya seperti sang Penyelamat sendiri. Ia sepertinya menyiratkan diri sebagai pengejawantahan dari sang Penyelamat. Maria mengambil peranan sang Penyelamat dan ini tidak disetujui Andreas. Maria dengan memainkan peranan Sang Penyelamat ia menjadi kendaraan yang dikenakan-Nya. Kendaraan untuk menyampaikan sabda-Nya kepada para murid-Nya atau kepada dunia. Peran maria di sini menjadi penting karena ia adalah sarana penyampaian sabda setelah kebangkitan sang Penyelamat.Keanehan ajaran yang dirasakan Andreas karena ajaran sang Penyelamat terkesan ‘baru’ dan ia sama sekali tidak memahami ajaran tersebut dengan baik, walaupun ia telah menjadi muridnya yang cukup baik. Ketidakpercayaannya hanyalah penolakan terhadap ajaran sang Penyelamat yang terkesan aneh. Hal ini tidak ada kaitannya dengan Maria sebagai pribadi, hanya isi ajaran-Nya. Jika maria mendapat posisi dalam diri sang penyelamat, ia membawa otoritas pengajaran Tuhan bersamanya. Karena hanya ia yang tahu dan memahami apa yang diajarkan sang Penyelamat. Pengajaran sang Penyelamat telah bersama dia, melalui dia, dan dibawanya. Maka jika pemikirannya demikian, tidak boleh ada penolakan atau protes terhadap ajaran Maria. Ketidakpercayaan Andreas menjadi tidak bisa diperdebatkan karena jawabanya hanya ada pada diri Maria.
Hal ini berlaku juga dengan Petrus. Namun, pertanyaan yang diungkapkan Petrus bukanlah pertanyaan esensial ajaran Yesus, seperti yang diperbuat Andreas, melainkan mempertanyakan pribadi Maria. Petrus mempertanyakan perihal gender dan juga status Maria dihadapan sang Penyelamat. “...berbicara kepada seorang perempuan secara pribadi tanpa sepengetahuan kita? ... Apakah dia memang lebih memilihnya daripada memilih kita?” Kemarahan Petrus lebih pada isu gender. Perempuan lebih diangkat dan diterima sebagai saluran pengajaran daripada Petrus, koordinator para rasul. Dalam injil ini Petrus dan Andreas dijadikan pribadi yang ‘buta’, yang sama sekali tidak tahu menahu akan pengajaran sang Penyelamat selanjutnya setelah kebangkitan-Nya. Respon Petrus dan Andreas terhadap penglihatan Maria adalah benar-benar tidak dapat dibenarkan, tidak sesuai, dan tidak tepat. Kejanggalan juga muncul di sini karena di beberapa bab sebelumya Petrus meminta Maria untuk memberikan pengajaran atas hal-hal yang belum mereka ketahui dan diketahui oleh Maria secara khusus dari sang Penyelamat. Petrus bertanya dan kemudian responnya tidak berbanding lurus. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan perihal kepribadian Petrus.
18: 1-5 Jawaban Maria. Dua jawaban darinya, yaitu ‘menangis’ dan ‘mengatakan mengapa engkau tidak percaya?’ Tangisan bisa menjadi suatu ketidakstabilan dalam injil ini. Dalam kisah sebelumya Maria memberikan penghiburan bagi murid-murid yang menangis. Ia menjadi pribadi yang tegar. Namun di sini, Maria menangis dan bisa jadi Maria tidak benar-benar tegar karena ia belum siap dengan jawaban-jawaban yang akan muncul ketika ia mengutarakan penglihatannya. Seharusnya ia menjadi lebih tegar karena penglihatannya yang baru dan aneh haru didahului dengan sikap siap sedia berbicara, siap sedia ditolak. Kemudian secara sederhana tangisan Maria ini juga bisa diartikan karena setelah beberapa lama, para murid belum juga percaya dengannya. Maria menagis karena Petrus dan Andreas tidak mampu menangkap pesan yang ia sampaikan. Tangisan itu karena mereka tetap saja menjadi pribadi yang ‘lama’ dan tidak terbuka dengan yang lain. Juga bisa jadi tangisan ini sebagai naluri alamiah seorang perempuan ketika integritasnya dipertanyakan. Jika demikian, maka Maria adalah memang benar pribadi yang tidak stabil.
Apakah engkau beranggapan bahwa aku telah mengada-ada atau bahwa aku berdusta tentang sang Penyelamat?” Ini juga merupakan respon atas penolakan yang dilakukan Petrus dan Andreas. Respon kedua ini sekali lagi juga berbau ‘perempuan’ dan sama sekali tidak menjawab hal-hal esensial dari ajaran-ajaran yang diberikan sang Penyelamat lewat visionnya. Seharusnya Maria bisa menjawab tujuan dan maksud sang Penyelamat menyampaikan ajaran yang ‘aneh’ ini. Namun yang ia lakukan ternyata sebaliknya.
18:6-21 Jawaban Lewi atau dukungan lewi terhadap Maria. 7 ayat ini berisi tentang pembelaan Lewi terhadap Maria yang menangis. Kata-kata awalnya ditujukan kepada Petrus, sekali lagi pada pribadi Petrus sendiri, bukan pembelaan atas esensi pengajaran sang Penyelamat. Sepertinya ajaran sang Penyelamat sudah baku dan tidak ada yang mau berpikir kritis tentangnya kecuali Andreas. Lewi menuduh Petrus telah berlaku kasar kepada Maria. Lewi mengatakan kekeras-kepalaan Petrus telah membuat relasi yang seperti musuh. Bukan lagi relasi antar para sahabat sang Penyelamat. Petrus yang keras kepala di sini bisa saja dikaitkan dengan Petrus dalam tradisi Injil dimana ia adalah pribadi yang sembrono, suka tabrak menabrak, berbicara tanpa berpikir dulu, dan lain sebagainya yang bisa mendeskripsikan kepribadian buruk Petrus. Namun jika dikaitkan dengan Injil ini, kepribadian Petrus seperti ada dalam pengajaran atau vision Maria. Penginjil ini ingin memberitahukan kepada pembacanya model dari kuasa kemurkaan yang berasal dari hikmat orang yang marah. Petrus dijadikan contoh akan pengajaran yang diberikan Maria. Inilah yang kemudian saya pikir menjadi agenda dari penulis injil ini. Sang penulis ingin menunjukkan bahwa kuasa kemurkaan adalah seperti itu dan hal ini merupakan sesuatu yang lebih penting daripada penjelasan yang sederhana dan ringkas, entah lewat perumpamaan, tentang vision yang diterima Maria. Dengan demikian, bagian ini tidak terlepas dengan bagian sebelumnya. Penulis ingin mengkaitkannya. Protes dari Petrus dan Andreas hanyalah sebuah agenda yang menjadikan gerak atau logika injil ini terlihat lurus.
Kemudian Lewi melanjutkan pembelaannya dengan mengklaim bahwa Maria telah dipilih oleh sang Penyelamat sendiri untuk memberitakan ajaran-Nya. Dia telah membuat Maria berharga. Dia telah mengasihi Maria lebih daripada para murid lainnya. Dengan ungkapan ini mungkin saja sang penulis ingin mengkaitkan dengan Injil Yohanes mengenai murid yang dikasihi Yesus. Dalam koteks ini, Maria adalah murid yang dikasihi-Nya. Dengan demikian selesailah perdebatan. Tidak ada lagi perdebatan tentang vision yang diutarakan Maria. Para murid tidak bisa menolak ungkapan perasaan sang Penyelamat sendiri. Sang Penyelamat telah memilih dan memberikan ajaran terbaiknya kepada Maria. Selesai. Titik. Bagi yang tidak percaya pada Maria berarti tidak percaya pada sang Penyelamat. Maria memiliki kuasa lebih di sini karena ia-lah yang mengetahui segala kebenarannya, tidak ada saksi mata atau bukti lain selain dia. Saya pikir ini juga merupakan agenda untuk pemberitaan kuasa-kuasa yang merupakan isi vision Maria.
Kita harus berpakaian dengan pakaian Kemanusiaan yang sempurna, kita harus mendapatkannya bagi diri kita seperti telah diperintahnya. Ungkapan ini ingin mengatakan bahwa Anak Manusia telah ada bersama kita. Kita hidup bersama dengan-Nya. Mengenakan kemanusiaan yang sempurna merupakan suatu metafor untuk mengenali humanisme sempurna yang ada dalam diri seseorang. Kita harus mengenali Dia agar kita bisa bersatu bersama-Nya dan tidak menolak maupun protes atas perintah-Nya. Manusia harus percaya pada hukum-Nya dan bukan pada hukum pemerintah, Yunani. Lewi kembali mengajak untuk setia dan percaya pada ajaran sang penyelamat tanpa berpikir kritis dulu terhadapnya.
19:1-2 Penutup. Mereka pun keluar untuk mengajar dan berkhotbah. Hal ini merupakan pengulangan dalam kisah sebelumnya(8: 21-22). Alasannya adalah setelah mendengar ajaran sang Penyelamat pergilah tanpa banyak perkara untuk mengajar dan berkotbah.
Namun dalam bukti tertulis, Injil Maria dalam teks Kopt tertulis sebagai ‘mereka’ dan dalam teks Yunani tertulis sebagai tunggal ‘dia’. Maka menurut teks kopt, Lewi dapat memenangkan pikiran dan hati Petrus dan Andreas sehingga mereka sama-sama pergi mengajar dan berkotbah. Menurut teks Yunani, hanya lewi-lah yang pergi mengajar dan berkotbah. Petrus dan Andreas tetap bersitegang dengan Maria dan kurang menerima vision-nya.

Catatan Tambahan
Dalam kisah ini memang ada debat antara Maria dan Petrus. Namun sebenarnya debat atas ajaran sang penyelamat ini adalah antara Petrus dan Andreas vs Maria dan Lewi. Di sini Petrus dan Andreas hanyalah sebagai dua tokoh kunci yang membuka persoalan dan kemudian berbagai ajaran sang Penyelamat diulang dan ditekankan kembali oleh Maria dan Lewi. Tentu saja dalam hal ini Lewi memegang peranan penting karena dalam pembelaannya kepada Maria, Lewi memberikan pengajaran untuk percaya lewat Maria yang dikasihi-Nya dan yang tidak akan berbuat bohong karena ada ajakan untuk mengenakan pakaian kemanusiaan. Jadi peranan Lewi di kisah ini sama pentingnya dengan peranan Maria. Kisah dari Injil Maria ini ingin mengangkat dua orang tersebut dan menjadikan Petrus dan Andreas, rasul Yesus, sebagai batu lompatan saja.

Selain itu perdebatan antara Petrus dan Andreas vs Maria dan Lewi merupakan perdebatan klasik antara Kristen ortodox dan kristen gnostik. Karakter Maria dan Lewi dibuat lebih positif dari Petrus. Petrus dan Andreas mewakili pandangan dari ortodox serta Maria dan Lewi dari gnostik. Dengan begitu, kristen gnostik telah memperoleh porsinya dalam Injil Maria ini. Mereka mengklaim bahwa mereka telah menerima rahasia keselamatan secara pribadi lewat vision-vision. Dengan Injil Maria, kaum gnostik merasa lebih baik dari kaum ortodok.
Injil Maria ini sepertinya juga ingin mengangkat isu gender. Maria yang merupakan perempuan dalam Injil ini bisa memberikan pengajaran dan memiliki kuasa tersebut langsung dari sang Penyelamat. Situasi umum saat itu sepertinya hanya laki-laki yang memberikan pengajaran dan berkotbah. Pemberitaan kabar gembira oleh laki-laki dengan penuh keberanian dan darah. Hal ini bisa juga mengangkat perempuan untuk setara dengan laki-laki, bahwa perempuan bisa mengajar dan berkotbah dan bisa dikasihi oleh sang Penyelamat lebih daripada lainnya.

ABIMELEKH: Raja yang tidak Pantas menjadi Raja


Kisah dalam Hak 8:33-9:57 bercerita tentang Abimelekh yang menjadi raja dengan cara yang tidak biasa. Ia bukan pilihan YHWH, didukung hanya oleh warga Sikhem, dan juga bukan murni orang Israel. Kisah ini ingin menyampaikan kepada pembacanya untuk setia pada YHWH dan percaya bahwa ia akan memberikan pembebasan. Apa yang baik dan seharusnya dilakukan oleh YHWH, bukan oleh diri sendiri. Abimelekh dipilih oleh dirinya sendiri dan bukan YHWH.
Tema atau kunci teologi dalam kisah Abimelekh ini ada pada ucapan Yotam, orang yang selamat dalam teror Abimelekh (9:7-20). Ucapan Yotam merupakan suatu masalah yang tidak pernah selesai di dunia ini yaitu untuk mendapatkan orang baik untuk melayani masyarakat. Hingga sekarang ini pun, dunia sulit mendapatkan pemimpin yang baik dan merupakan pilihan Allah. Yotam memberikan dongen tentang pohon-pohon yang baik memutuskan untuk terus menghasilkan buah yang baik. Namun semak duri menganggap dirinya layak menerima kehormatan.Dalam dongeng ini Abimelekh digambarkan sebagai semak duri yang tidak pantas menjadi raja. Semak duri memiliki karakter membakar dengan cepat seperti Abimelekh memusnahkan anak-anak raja dan juga kota Sikhem.
Kisah Abimelekh ini tidak diterima dalam kisah Deuteronomi karena kisah ini tidak menceritakan kepahlawanan seorang Raja yang memang membela rakyatnya dengan didukung oleh YHWH. Kisah ini juga tidak mengikuti pola kisah-kisah dalam Deuteronomi, kecuali awal kisah ini atau akhir dari kisah Gideon yang menunjukkan dosa umat Israel yang kembali pada Baal.

Pembagian narasinya adalah sebagai berikut:
33-35 Narasi tentang Abimelekh ini berawal dari kematian Gideon, Raja Israel. Dengan kematiannya tersebut, Israel menjadi liar kembali atau menjadi dosa. Kisah kembali pada pola Deuteronomy yang berawal dari kedosaan Israel. Kembali ditegaskan dalam ayat-ayat ini, Israel menjadi lupa akan masa lalunya, sejarahnya yaitu penyelamatan bangsa dari penindasan bangsa Midian (9:17). Ia tidak ingat lagi akan kebaikan YHWH dan mengikuti kembali Baal-Berit. Karena tidak ingat lagi maka rasa terima kasih/syukur mereka juga tidak ada. Kematian Gideon telah melahirkan dosa bagi bangsa Israel. Kesuksesan Gideon ternyata tidak bertahan lama. Bangsa Israel sangat tergantung pada seorang pemimpin dan jika sang pemimpin tidak ada YHWH pun ditinggalkan. Bisa dikatakan tidak ada dasar yang kuat yang dibangun atas bangsa Israel yang menjadikan mereka tetap setia walaupun mereka mengalami penderitaan.
1-3 Abimelekh adalah anak dari Gideon, hakim terdahulu yang memang terkenal baik dan dipilih YHWH. Ibunya merupakan selir atau pelayan Gideon yang berasal dari Sikhem (8:31). Abimelekh berarti “Ayahku adalah Raja”. Dengan namanya itu ia berkehendak menjadi raja walaupun darah yang mengalir tidak murni darah biru. Ia menjadi raja karena hubungan dari ibu. Tapi Abimelekh hanya memerintah, tidak menjadi hakim (9:22), dengan cara yang sama sekali berbeda dengan ayahnya. Ia berkuasa selama 3 tahun dan selama itu pula ia didukung oleh saudara-saudaranya yang berasal dari Sikhem, atau keluarga dari pihak ibunya (9:2-3). Abimelekh merupakan penghasut yang ulung. Ia berbicara kepada para warga Sikhem dan mereka percaya kepadanya. Mungkin juga karena ia adalah orang Sikhem juga sehingga banyak orang berharap ada raja dari negrinya sendiri, walaupun tidak diketahui dengan baik kualitas raja yang dipilih mereka. Juga, Abimelekh merupakan anak dari Gideon sehingga warga bisa percaya juga bahwa Abimelekh memiliki darah Israel dan akan diberkati YHWH sehingga Sikhem akan selalu damai dan tentram. Mereka memilih satu orang dari Sikhem daripada 70 lainnya yang keturunan murni Israel. Keinginan para warga mungkin hanya satu yaitu mengharapkan Sikhem damai dan jaya. Abimelekh memberikan suatu janji dan mereka menerima janji tersebut. Dalam ayat-ayat ini tidak ada kata bahwa warga Sikhem dihasut dengan darah, melainkan mereka dihasut dengan berbagai propaganda dan jani-janji. Lagi pula saat itu warga sangat setia pada Baal dan Abimelekh berlindung dibawah Baal.
4-5 Dukungan awal yang ia terima dari warga Sikhem adalah rencana menyewa para preman untuk membantu membantai anak-anak dari ayahnya yang berjumlah 70 orang, namun satu selamat karena bersembunyi. Yotam namanya. Ia membantai di atas satu batu. Orang-orang yang membantunya dibayar dengan 70 uang perak dari kuil Baal-Berit (9:4-5). Di sini bisa ketahuan kualitas dari Abimelekh yang mencoba berkuasa dengan diawali darah. Keputusan menyewa para preman untuk membantu membantai pengeran-pangeran kerajaan adalah keputusan yang keji yang hanya memikirkan dirinya sebagai yang utama dan pantas. 1 kepala berharga 1 uang perak yang diambil dari kuil Baal-Berit. Murah sekali. Pembantaian menjadi jalan menuju kekuasaan. Tidak hanya itu, penghinaan terhadap YHWH atau pelanggaran terhadap janji YHWH menjadi jalan menuju raja. Pembantaian ini bukan merupakan bentuk korban persembahan kepada YHWH.
6 Atas pengaruh dari Abimelekh, warga kota Sikhem mengangkatnya menjadi raja. Namun sebenarnya, YHWH tidak menginginkan ini terjadi. Abimelekh tidak pernah masuk dalam daftar menjadi raja dalam kitab. Penempatannya dalam kisah kitab Hakim-Hakim karena kaitan dirinya dalam tradisi raja Gideon. Penobatan ini hanya keinginan warga Sikhem belaka. YHWH tidak memberkati, apalagi ia menjadi raja lewat pengaruh dari kuil Baal. Namun yang juga ironis adalah pentakhtaannya dilakukan di dekat pohon terbantin di tugu peringatan yang di Sikhem. Tempat ini adalah tempat bersejarah dan suci dimana tempat itu adalah milik Yakub dan ada batu kesaksian yang didirikan oleh Yosua. Pentakhtaan ini sama sekali tidak suci, tidak direstui YHWH. Ini hanyalah aktivitas manusia semata dan bukan berasal dari kehendak YHWH. Tempat pentakhtaan ini merupakan tempat bersejarah dan merupakan tempat terciptanya relasi antara manusia dan YHWH. Dengan adanya motif lain, aktivitas manusia yang tak terpuji, tempat ini menjadi hilang esensinya. Bisa dikatakan bahwa mata rantai simbolis YHWH dan manusia hilang karena ketidaksucian yang dibuat Abimelekh.
7-15 Dalam ayat-ayat ini, Yotam menggunakan suatu dongeng untuk menegur para pembantai yang mengangkat dirinya menjadi raja. Dongeng ini ia ucapkan di Gunung Gerizim seketika ia mendapatkan kabar penobatan Abimelekh menjadi raja. Ia mengajak warga kota Sikhem untuk percaya kepada dia dan kembali setia kepada YHWH. Ungkapannya disebut dongeng karena mengungkapkan suatu peristiwa yang dibayangkan bukan situasi yang nyata. Dalam dongeng tersebut permintaan menjadi raja oleh pohon-pohon yang baik ditolak dan semak duri yang merusak dan tidak menghasilkan memberanikan diri menjadi raja dengan permintaannya yang sama sekali tidak rendah hati “berlindunglah di bawah naunganku”. Hal ini menggambarkan tentang sulitnya mendapatkan pemimpin yang baik yang memiliki dasar menghasilkan buah, namun yang bersikap buruk malahan memberanikan diri menjadi raja. Yotam melihat ada perendahan nilai kerajaan, nilai kebenaran dan integritas. Kerajaam menjadi milik orang-orang yang tidak berkualitas. Yotam dengan dongeng ini menggambarkan kerajaan Abimelekh yang tidak akan bertahan lama karena dipimpin oleh raja yang tidak berkualitas menjadi raja, yang mampu, tanpa pikir panjang, membumihanguskan pohon-pohon lainnya. Dongeng ini ditujukan kepada para warga Sikhem dan bukan Abimelekh. Sepertinya ia takut secara langsung menegur Abimelekh.
16-21 Tentu saja Yotam tidak setuju dengan isi dongeng ini. Ia mengutuk dan membuat nubuat untuk warga kota Sikhem yang mengangkat Abimelekh menjadi raja. Dalam ayat 18 Yotam membuat perumpamaan yang keras dan kejam dengan mengatakan “budak perempuan”. Sepertinya Yotam ingin merendahkan Abimelekh dan keluarganya dengan mengambarkan mereka sebagai keluarga budak yang tidak memiliki derajat apa pun dalam dunia Israel. Budak tidak memiliki tempat di mata Allah. Ayat 20 sepertinya kutukan (atau nubuat) Yotam kepada warga kota Sikhem yang tidak setia lagi pada Yerubaal dan keturunannya, yang sudah melupakan peristiwa penyelamatan dari orang-orang Midian (17). Api atau amarah akan keluar dari masing-masing, Abimelekh dan warga kota. Pada hari penobatan mereka saling bersahabat namun ada suatu masa di mana mereka saling berperang. Yotam kemudian lari ke Beer dan dituliskan ia pergi karena takut pada saudaranya, yang mungkin akan membunuhnya juga. Ia tidak diterima di kota kelahirannya.
22-25 YHWH ternyata hanya memberikan waktu selama tiga tahun untuk Abimelekh memerintah Israel. Pemerintahan Abimelekh adalah kebencian Allah. Allah dengan kebencian-Nya ingin mengawali nubuat yang diutarakan Yotam sebagai balas atas pembantaian yang dilakukan Abimelekh. Ia membuat rakyat menjadi tidak setia yang akhirnya membuat pemerintahan Abimelekh berantakan. Itulah semangat jahat yang diberikan Allah. Warga Sikhem menjadi pemberontak terhadap rajanya. Ayat 25 menjadi awal pembalasan dendam oleh Allah terhadap pembantaian anak-anak Yerubaal. Warga Sikhem mengambil strategi seperti yang pernah dilakukan Abimelekh. Mereka juga menyewa para preman untuk menghadang dan membunuh Abimelekh di suatu puncak gunung. Tidak hanya itu, orang-orang yang berjalan melalui jalan tersebut dipalak dan dianiaya juga.
26-29 Kisah di atas dihentikan dan dilanjutkan dengan kisah yang baru mulai ayat 26. Ayat-ayat ini berkisah tentang usaha Gaal untuk memusnahkan kerajaan Abimelekh. Ayat 26 berkisah tentang kedatangan Gaal bin Ebed berserta saudara-saudaranya mengawali kehancuran pemerintahan Abimelekh. Gaal bin Ebed berarti “anak pelayan atau budak”. Namun, juga bisa dipertanyakan mengapa “anak budak” ini dipercaya oleh warga Sikhem, padahal ia baru datang dan tidak memiliki pengalaman atau pergaulan yang luas dengan warga Sikhem. Ia hanya seperti perantau pada umumnya yang kemudian tinggal di Sikhem. Mungkin juga ia adalah orang yang kuat dan berani yang menurut warga Sikhem orang ini mampu mengalahkan Abimelekh. Gaal dan saudara-saudaranya bisa jadi sekelompok preman yang singgah di Sikhem. Kemudian kisah mengarah ke aktivitas warga Sikhem di ayat 27. Mereka ke ladang dan memanen hasil kebun mereka. Mereka melakukan suatu pesta dan ucapan syukur dengan makan dan minum di kuil Baal. Dalam pembicaraan (ayat 28) mereka mengutuk raja mereka, Abimelekh, dengan dengki dan amarah. “Siapa itu abimelekh? Mengapa kita menjadi hambanya?” Ia juga menghasut warga agar memihaknya. Sepertinya model ini sama seperti yang dilakukan Abimelekh, yaitu dengan menggunakan tameng keturunan ‘orang Hemor’. Dalam ayat 29 sepertinya semakin menguatkan warga kalau Gaal mendukung rencana mereka untuk menghancurkan Abimelekh. Dalam ayat ini ia menantang Abimelekh “...dalam tanganku...aku mengenyahkan Abimelekh.” Suatu ungkapan yang keras namun disukai warga Sikhem.
30-33 Ayat 30 kisah mengarah ke Zebul, wakil Abimelekh yang setia. Ia mengetahui rencana Gaal dan ikut marah karena rencana itu. Hasutan Gaal berhasil namun ketahuan oleh Zebul, wakil Abimelekh yang setia, yang telah berusaha menunda dan mengalihkan usaha pemberontakan yang dipimpin Gaal. Kesetiaannya membuat ia harus memberitahukan kepada Abimelekh sehingga ia memintanya untuk memulai perang dengan Gaal “bersama-sama melakukan penghadangan.... haruslah engkau menyerbu kota itu...” Tanggapan Zebul ini sepertinya terlalu dini dan penuh darah. Ia tidak mau tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menstrategikan untuk menyelesaikannya. Mungkin ini juga semagat jahat dari Tuhan, pedang dilawan pedang antara Abimelekh dan warga kota. Dalam surat Zebul ia meminta untuk menghancurkan warga kota dan Gaal tanpa ampun, di pagi hari siapa yang melawah harus dibunuh. Amarah dilawan dengan amarah dan hasilnya adalah darah.
34-38 Ayat-ayat ini adalah ayat yang dinamis, ada dialog dan aksi-aksi yang menarik sebagai suatu narasi. Bagian ini saya sebut sebagai awal perang antara Abimelekh dan Gaal. Abimelekh datang menyambut surat dari Zebul dan Gaal bersiap di dalam kota. Ayat 36-38 adalah ayat yang menarik antara Gaal dan Zebul. Entah dialog ini sebagai tipuan perang atau kenyataan yang ada. Yang jelas, zabul merasa amat marah dan memaksa Gaal untuk langsung berperang. Abimelekh datang ke kota juga dengan empat pasukan yang akan berperang dari empat penjuru. Dalam hal ini tentara Abimelekh lebih besar dan penuh senjata.
39-41 Perang dimulai. Abimelekh berhadapan dengan Gaal, namun Gaal melarikan diri sehingga Abimelekh terpaksa mengejar Gaal. Narasi ini memiliki kesan menarik dan penuh aksi, namun ayat 41 masuk dan mengurangi kesan atraktif peperangan antara Abimelekh dan Gaal. Saya rasa ayat 41 tidak searah dengan peperangannya dan hanya informasi belaka. Pembaca kecewa dengan adanya ayat 41 ini.
42-45 Esok harinya peperangan tambah besar. Abimelekh membunuh hampir semua warga Sikhem. Berarti ia membunuh saudara-saudaranya. Tega sekali. Ia membunuh orang-orang yang ada di pintu gerbang dan di ladang. Ayat 45 terdengar sangat kejam. Ia masuk kota, merebutnya, dan membunuh orang-orang yang ada di dalamnya. Ia merobohkan kota dan menaburinya dengan garam. Namun sekali lagi, tindakan Abimelekh salah. Ia sama sekali tidak memahami strategi memerintah atau berperang. Ia menghancurkan kota dan juga isinya, warga Sikhem, bahkan lahan yang tadinya subur ia jadikan tandus dengan ditaburi garam. Ada dua tindakan buruk yang dilakukan Abimelekh yaitu membumihanguskan kota dan menaburi lahan dengan garam. Hal ini menyebabkan kota menjadi mati tak berpenghuni dan luluh lantah serta tanahnya tandus. Kemarahan Abimelekh tidak hanya singkat melainkan berpengaruh turun temurun. Israel tidak akan mendapatkan kebaikan dan kesuburan lagi karena Abimelekh telah memusnahkan “tanah” yang memang penting bagi bangsa Israel. Tanah untuk mereka tinggal dan kemudian melajutkan pengabdian dan penghormatannya pada YHWH. Kemarahan Abimelekh bukan hanya kemarahan pada pemberontaknya melainkan pada YHWH. Mungkin ia berharap dengan dua tindakannya itu YHWH tidak akan lagi disembah karena tidak ada orang atau tanah yang baik dan subur yang menjadi tawaran memuji YHWH.
46-49 Bagian ini bisa dikatakan sebagai kekejian Abimelekh. Amarahnya yang membabi buta tidak pantas dilakukan sebagai seorang raja. Ia membunuh semua penduduk Menara-Sikhem. Pembunuhan bagi Abimelekh tidak pernah selesai. Ia keji dan biadab, tidak memikirkan akan masa depan kerajaan dan juga keturunannya. Yang ia bunuh adalah saudaranya sendiri. Semangat jahat dari YHWH membutakan mata hati abimelekh sehingga segala yang ia lakukan menjadi legal. Siapa yang membencinya harus dibunuh. Kemudian pembumihangusan kota tidak memandang yang setia dan tidak. Ia membunuh semuanya saja dan tidak membedakan satu sama lain. Jadi, bisa saja ia juga membunuh orang-orang yang setia padanya. Ia memang biadab dan tanpa ampun. Hal ini seperti yang diungkapkan Yotam. Api akan memusnahkan warga Sikhem.
50-51 Abimelekh kemudian melanjutkan pengepungan di tebes. Di tebes, ia juga melakukan hal yang sama yaitu ia berusaha membakar menara benteng kota. Padahal menara tersebut termasuk kuat namun Abimelekh tetap saja ingin menghancurkannya. Amarahnya tidak pernah padam. Tujuannya adalah membunuh orang. Jika ia pintar bisa saja ia membuat perjanjian dengan warga kota yang sudah lemah dan sepertinya menyerah untuk membangun kembali kerajaannya. Dalam hal ini Abimelekh memang bukan seorang raja yang cerdas, yang pandai membuat strategi pemerintahan.
52-55 Namun ternyata usahanya digagalkan oleh seorang perempuan yang melemparkan batu ke kepalanya hingga pecah (9:53). Disinilah akhir amarah dan kebejatan Abimelekh. Hanya seorang wanita yang bisa menghentikannya. Ia akhirnya meminta pembawa senjatanya untuk menikam dia hingga mati agar tidak ada sejarah yang menmberitahukan ia dibunuh oleh seorang wanita. Dengan demikian ia mati secara pahlawan. Dengan kematiannya, Israel menjadi damai kembali. Peristiwa kematiannya ini seperti yang diberitakan Yotam atau ada dalam kutuk Yotam (9:20). Kematian Abimelekh juga sangat tidak diduga. Tanpa ada perlawanan yang keras dan membabi buta ia mati dengan batu yang memecahkan kepalanya. Perempuan yang lemah ternyata mampu menghilangkan nyawanya. Kelemahan memusnahkan kekuatan Abimelekh. Kemurnian memusnahkan kedegilan. Kelemahlembutan memusnahkan kekerasan hati.
56-57 Dengan demikian Abimelekh bukanlah pengantar rahmat Allah, hanya seorang peninas, bukan pemimpin, hanya pembantai umat Israel. Abimelekh membawa Israel pada suatu peperangan, bukan situasi penuh rahmat. Kematian Abimelekh adalah kuasa Allah, Allah membawa damai di Israel dengan menghentikan Abimelekh lewat perang antar amarah (api) seperti yang diutarakan Yotam. Inilah kisah orang-orang yang setia pada Baal, bukan YHWH.

Catatan Tambahan

Sepertinya tidak mudah menuliskan pola narasi dalam kisah Abimelekh ini. Kisah Abimelekh menjadi Raja tidak selurus kisah yang ada di hakim-hakim lainnya. Empat unsur yang biasanya melukiskan pola narasi kitab hakim-hakim menjadi sulit diterapkan di kisah Abimelekh ini. Namun, di bawah ini akan dituliskan empat unsur/pola narasi yang ada dalam kisah Abimelekh.

Dosa → Israel meninggalkan YHWH, Israel kembali pada Baal dan melupakan masa indah, penyelamatan, bersama YHWH. Masa Gideon telah usai dan dilanjutkan oleh Abimelekh yang menjalankan pemerintahan dengan sembarangan yang didasari pembunuhan dan ketidakadilan. Pemilihan Abimelekh bukan atan nama YHWH, namun atas nama warga Sikhem sendiri. Walaupun begitu, Abimelekh ingin kelihatan seperti orang pilihan YHWH dengan dimahkotai di dekat pohon terbantin di tugu peringatan yang di Sikhem. Abimelekh menjadi raja karena ia memusnahkan 69 anak-anak Gideon. Ia menyewa para preman dan membayarnya dengan uang dari kuil Baal.

Hukuman → YHWH yang awalnya diam kemudian aktif bergerak untuk memusnahkan pemerintahan Abimelekh. Ia memberikan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem. Amarah ini berlangsung terus hingga warga kota Sikhem hampir habis. Kota Sikhem dibakar dan lahannya menjadi tandus. Rusaknya tanah merupakan wujud rusaknya persahabatan/kesuburan antara Israel dan YHWH.

Tobat → pola ini sebenarnya ada pada 9:7-21 yaitu pada ungkapan kemarahan Yotam. Yotam yang berarti “YHWH itu sempurna” bisa dikatakan sebagai nabi. Ia pergi ke Gunung Gerizim dan berteriak kepada bangsa Israel untuk kembali setia kepada YHWH. Yotam bernubuat (kutuk) kepada orang-orang Sikhem dan Abimelek bahwa mereka akan musnah oleh api. Hal ini sebagai pembalasan atas pembunuhan secara keji anak-anak Gideon. Yotam dalam hal ini bernubuat tentang pembebasan. Pertobatan muncul dalam diri Yotam sehingga Allah berpihak pada Yotam dan mengenyahkan Abimelekh dan saudara-saudaranya.

Penyelamatan → dalam pola ini YHWH sendiri berperanan menyelesaikan masa pemerintahan Abimelekh. Tiga tahun cukup. YHWH memberikan semangat jahat di antara warga Sikhem yang akhirnya membuat mereka tidak setia pada Abimelekh (9:23). YHWH sendiri di sini berperanan sebagai Raja Israel membawa pembebasan untuk membalas pembunuhan secara keji anak-anak Gideon. Gaal yang berarti kebencian/kemarahan/ keengganan mengumumkan dirinya sebagai penguasa dan membuat Abimelekh khawatir. Ia akhirnya membakar Sikhem dan Tebes dan menjadikan lahannya tandus. Amarah Abimelekh diselesaikan dengan pelemparan batu ke kepala Abimelekh oleh seorang perempuan dan dihunusnya Abimelekh oleh bujang pembawa senjatanya. Kematian Abimelekh menjadikan Israel damai kembali dan akhirnya dipilih lagi Hakim yaitu Tola bin Pua bin Dodo (10:1).

Abimelekh adalah raja yang tidak pantas menjadi raja. Ia memerintah dengan sembarangan dan tidak pernah memikirkan rakyatnya. Ia membunuh semua rakyatanya. Ia juga bukan pilihan YHWH dan juga bukan keturunan murni Israel. Ada tiga hal yang dapat menjelaskan pernyataan ini:
 Abimelekh, digambarkan seperti semak duri, merupakan orang yang keliru menjadi raja. Ia tidak memberikan keamanan dan keselamatan pada rakyatnya. Ia membakar rakyatnya sendiri. Ia mengawali pemerintahan dengan “kudeta” membunuh anak-anak Gideon dengan dibantu atau menyewa para preman atau petualang yang ada saat itu. Ia menjadi raja karena faktor kekuatan otot bukan strategi dan rahmat YHWH.
 Orang-orang Sikhem, termasuk Abimelekh, tidak bertindak “dalam iman dan kesetiaan murni” (9:15-16,19). Orang-orang Sikhem bertindak membanggakan sukunya sendiri (9:3) dan melupakan atau tidak peduli pada penyelamatan semasa Gideon (9:16-18). Peranan YHWH tidak dipedulikan.
 Dengan Abimelekh menjadi raja, Sikhem membelot dari YHWH. Pembelotan ini oleh YHWH diselesaikan dengan pemusnahan kota (9:20), muncul semangat jahat yang menjadikan orang-orang tidak setia pada Abimelekh (9:24), penhadangan dan perampasan (9:25, 34-35, 43), pemberontakan (9:26-29), pembantaian (9:43-45), dan pemusnahan (9:45).
Secara umum, Abimelekh melakukan tidakan ini karena berkat dari Baal dan didukung oleh para preman. Di tanah terjanji, buah yang buruk merupakan hasil dari pemujaan Baal. Penyembahan dan pengorbanan pada Baal memberikan motif dan dasar imoral dari kebangkitan Abimelekh (8:33). Segala yang dilakukan Abimelekh merupakan penodaan YHWH yang memang tidak ingin melihat sejarah Israel, yang telah memberikan berbagai penyelamatan. Segala yang berasal dari Baal adalah penindasan, pemberontakan, pemusnahan, kekerjaman, dan keruntuhan luar biasa.
Pemerintahan abimelekh merupakan hasil dari inisiatifnya sebagai seorang preman. Lewat tipu daya, kekerasan, dan darah, pemerintahan Abimelekh tidak akan diterima YHWH. Apalagi ia menobatkan dirinya sendiri seperti ia adalah orang pilihan YHWH di dekat pohon terbantin. Maka dalam hal ini pemerintahan Abimelekh adalah pemerintahan yang tidak sah. YHWH tidak akan menolong bangsa ini dan mau tidak mau Abimelekh hanya bisa berperang dengan kekuatannya sendiri atau dengan tentaranya. Allah tidak akan memberikan kekuatan untuk menolong pada Abimelekh. Keamanan kerajaan Abimelekh tergantung diri sendiri, berbeda dengan keamanan pada masa Gideon di mana YHWH juga menjadi penjaganya. Abimelekh dalam Deuteronomi dicerca dan dihina karena tidak setia pada YHWH. Ia melakukan hal yang tidak sepantasnya sehingga ia tidak bisa disebut sebagai raja/hakin Israel. Namun oleh Deuteronomi ia dianggap sebagai pemimpin Israel setelah Gideon di mana masa pemerintahannya adalah masa kedosaan.

Pemerintahan yang berdasarkan kekerasan atau darah tidak akan menghasilkan buah. Pemerintahan model Abimelekh ini tidak mendasarkan diri pada apa yang menjadi keprihatinan rakyat dan YHWH. Jika YHWH berkenan, pasti keprihatinan akan terselesaikan. Keadilan akan ditegakan dan model pemerintahan ini tidak akan bertahan lama. Dalam kisah ini bisa dikatakan pedang dibalas dengan pedang. Itulah keadilan pada saat itu. Namun dalam kisah ini, Abimelekh berperang tidak hanya melawan orang yang menolak dia melainkan juga terhadap YHWH.

Kepemimpinan pada masa Hakim-Hakim selalu jatuh pada dosa. Abimelekh adalah kasus yang berdosa sangat berat dan besar. Ia hanya ingin memimpin dan tidak bertugas mengatur rakyat atau mejadi hakim. Memang dalam kisah hakim-hakim, umat Israel selalu saja jatuh pada dosa dan ingin melawan YHWH. Ketidakteraturan ini merupakan awal hadirnya atau sebagai refleksi hadirnya masa raja-raja. Abimelekh memang preman yang keterlaluan. Bisa dikatakan ia adalah ateis praktis. YHWH yang berkuasa atas langit dan bumi diacuhkan dan masa depanNya tidak lagi dipikirkan dengan membumihanguskan kota dan mentanduskan lahan. YHWH ia lawan dengan nekat dan ngotot. Adalah suatu kebodohan melawan kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar darinya.

Model politik Abimelekh atau kudetanya masih digunakan hingga saat ini dalam mencari posisi kekuasaan dengan cara mudah dan cepat. Orang yang ingin menjadi pemimpin menghasut rakyat untuk percaya dan setia pada dirinya dan kemudian menghancurkan atau membunuh orang-orang yang akan menghambat lajunya ke pintu kekuasaan. Pemimpin ini hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau repot untuk mengurusi kesejahteraan rakyat. Ketika ia memerintah ia hanya korupsi untuk kepentingan pribadi dan kemudian rakyat yang hancur, rumahnya porak poranda dan lahan kerjanya kering kerontang. Ini adalah pemimpin yang dipilih oleh Baal, semangat jahat yang ingin menghancurkan dunia.

Allah digunakan sebagai alat untuk berpolitik. Itu adalah kesalahan. Allah adalah sumber politik dan Ia tidak bisa dimanfaatkan untuk menghasut rakyat. Di zaman sekarang ini hal ini sering terjadi dan membuat banyak orang tertarik untuk memilih partai yang menggunakan nama Allah, bahkan tak jarang orang-orang berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan. Bisa dikatakan ini menghojat nama Allah.

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta