Wednesday, August 31, 2011

Spiritualitas Timur III


Dalam sebuah kebijaksanaan cina, harapan dan ketakutan adalah hal yang sama. Keduanya adalah momok, keduanya sama-sama memberatkan. Harapan dan ketakutan sama-sama keluar dari diri kita sendiri dan yang menjadikan harapan dan ketakutan itu menjadi sangat berat ataupun ringan adalah kita juga. Saya punya harapan untuk berhenti merokok sama saja ingin mengatakan saya takut mati muda. Saya punya harapan untuk lulus sekolah sama saja dengan mengatakan saya takut tinggal kelas. Pernyataan harapan dan ketakutan yang demikian hanya keluar dari diri seseorang yang sangat egois, hanya memikirkan diri sendiri. Harapan dan ketakutan dengan demikian hanya akan menjadi suatu lingkaran yang tidak akan pernah selesai. Lao Tzu, sang guru kebijaksanaan, mengatakan janganlah melihat diri sendiri. Lihatlah dunia, lihatlah sesama kita dan segala yang bagus di dunia ini dan kita bisa melakukan apa pada mereka. Kita berharap dengan tidak mementingkan diri kita sendiri. Kita berharap untuk suatu dunia yang harmonis sehingga kita tertantang untuk selalu berbuat baik, untuk semua orang. Ketika kita mulai melihat dunia sekeliling kita, harapan akan terus muncul dan ketakutan akan musnah. Kiamat datang? Siapa takut…..tema ini pada awalnya mengherankan buat saya dan membuat saya bertanya-tanya, Mengapa kita harus takut dengan kiamat? Kiamat datang, kita semua mau tidak mau harus menerimanya. Tidak ada toleransi, tidak ada pengecualian. Semuanya habis, hidupku dan hidup kita akan habis dan kita terpaksa menyerah. Kiamat, kita percaya, akan terjadi. Maka, tidak perlu takut dan harus kita tatap dengan optimisme karena kita akan mendapatkan hidup baru.

Bagi kita orang katolik, kiamat sering disebut dengan saat parousia. Yaitu saat kedatangan Kristus kembali dalam kemuliaanNya untuk mengadili dunia. Hari kiamat akan menjadi hari Tuhan dan pada waktu itu Kristus akan tampak untuk kedua kalinya. Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus berjaga-jaga dan menunggu dengan sabar dalam menantikan datangnya hari tersebut. Namun kapankah datangnya kiamat tersebut. Siapakah yang tahu, tidak ada dari kita pun yang tahu akan hari kiamat. Hanya Allah Bapa yang mengetahuinya. Yesus pun tidak mengetahuinya kapan datangnya kiamat tersebut.

Namun, ada berbagai dugaan bahwa berbagai masalah dan bencana yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah petanda kiamat. Benarkah itu? 2006 lalu kita mengalami gempa dashyat dan kini ada bencana merapi yang telah membunuh beribu-ribu harapan orang. Rumah, kebun, ternak, suami atau istri, anak-anak hangus karena terkena awan panas. Inikah kiamat? Bagi saya ini bukan kiamat karena dengan situasi seperti ini kita diajak untuk bergabung dengan sesama kita, bahu membahu, membangun dan saling menginspirasikan harapan-harapan baru untuk semakin yakin hidup bersama Allah. Bencana ini entah dikatakan kiamat atau bukan kiamat hendaknya membawa kita untuk bergerak dan melangkah, tidak diam saja karena takut. Bergerak bersama Allah muncul suatu solidaritas bersama yang menderita. Rm. Tom Jacobs pernah menyatakan bahwa kiamat adalah perkara untuk bersatu dengan Allah. Kiamat bukan berarti kehancuran yang membuat kita takut melainkan kebangkitan harapan dan kasih. Kiamat bukan bencana ini atau itu, melainkan habis semuanya dan tak seorangpun dapat menghindari bahwa hidupnya habis.

Kiamat kita sekarang ini bagi saya adalah menghindarnya kita dari solidaritas terhadap orang yang menderita. Habis rasa untuk bersolidaritas dengan sesama. Kristus telah datang ke dunia sebagai suatu bentuk solidaritas Allah terhadap dosa-dosa manusia. Maka, selayaknyalah kita juga berkerja bersama dalam solidaritas tersebut. Beberapa hari lalu saya pergi ke daerah di jalan solo dan pulangnya yaitu sekitar jam 8 malam, parkiran XXI jalan solo masih tetap padat. Artinya saya menyimpulkan bahwa banyak orang menonton bioskop dalam situasi seperti ini. Kemudian saya berpikir, apa yang dipikirkan mereka ketika ada bencana seperti ini di mana mereka masih memikirkan diri mereka sendiri. Yang kuat seharusnya menolong yang lemah dan menderita, itulah bentuk solidaritas. Yang kuat tidaklah menikmati segalanya demi diri sendiri. Bagi saya, inilah kiamat. Kiamat berarti matinya solidaritas kita, habisnya rasa kepedulian kita. Kiamat bukan meletusnya gunung merapi, melainkan makin banyak orang mengurus dirinya sendiri. Padatnya XXI hanyalah satu contoh dan saya pikir masih ada banyak contoh-contoh yang lain.

Yesus berkata, “waspadalah supaya kamu jangan disesatkan”. Percayalah pada Allah, percayalah pada imanmu karena jika “kamu tetap bertahan dalam imanmu, kamu akan memperoleh hidupmu”. Bangunlah solidaritas dengan sesama, bangunkanlah harapan-harapan orang-orang yang lemah dan menderita tersebut dengan uluran tangan kita. Inilah langkah atau gerak kita menghadapi kiamat, untuk hidup bersama Allah. Menghadapi kiamat kita harus penuh harapan, bukan dengan ketakutan.

Dalam sebuah kebijaksanaan cina, harapan dan ketakutan adalah hal yang sama. Keduanya adalah momok, keduanya sama-sama memberatkan. Harapan dan ketakutan sama-sama keluar dari diri kita sendiri dan yang menjadikan harapan dan ketakutan itu menjadi sangat berat ataupun ringan adalah kita juga. Saya punya harapan untuk berhenti merokok sama saja ingin mengatakan saya takut mati muda. Saya punya harapan untuk lulus sekolah sama saja dengan mengatakan saya takut tinggal kelas. Pernyataan harapan dan ketakutan yang demikian hanya keluar dari diri seseorang yang sangat egois, hanya memikirkan diri sendiri. Harapan dan ketakutan dengan demikian hanya akan menjadi suatu lingkaran yang tidak akan pernah selesai. Lao Tzu, sang guru kebijaksanaan, mengatakan janganlah melihat diri sendiri. Lihatlah dunia, lihatlah sesama kita dan segala yang bagus di dunia ini dan kita bisa melakukan apa pada mereka. Kita berharap dengan tidak mementingkan diri kita sendiri. Kita berharap untuk suatu dunia yang harmonis sehingga kita tertantang untuk selalu berbuat baik, untuk semua orang. Ketika kita mulai melihat dunia sekeliling kita, harapan akan terus muncul dan ketakutan akan musnah.
Harapan akan menjadi kekuatan jika kita berani melihat dunia, jika kita memiliki iman untuk berbuat. Kiamat adalah saat kita berharap, bukan untuk ditakuti.

Bangunlah solidaritas untuk sesama kita, dan tinggalkan keegoisan kita. Kiamat bukan saat memelihara diri sendiri melainkan melihat dunia dan semua yang bagus yang terjadi dan bergabung pada yang lain dan yang baru itu. Inilah tanggapan kita atas peristiwa yang menghabiskan hidupku dan hidup kita sebagai suatu bentuk pasrah. Kita punya iman, maka kita mesti berbuat.

Spiritualitas Timur II


Ketika membuat permenungan ini, saya teingat akan seorang teman yang menyimbolkan dirinya sebagai pohon. Aku adalah pohon yang memberikan kesegaran dalam hal udara segar dan kenyamanan dari orang2 yang mau berteduh dan relaksasi dengan pohon tersebut. Sepintas juga saya teringat akan pohon kehidupan, atau yang disebut dengan pohon kalpataru atau pohon kehidupan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya. Pohon KALPATARU menggambarkan suatu tatanan lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara hutan, tanah, air, udara, dan makhluk hidup atau hidup dengan harmonis.

Di sini saya ingin bicara mengenai harmoni dari lambang yin yang. Secara literer yin, memiliki arti sisi gelap dan sisi terang sebuah bukit. Bukit yang disinari matahari pada pagi dan siang hari akan memunculkan sisi terang dan gelap, sebuah polaritas. Yin dan yang adalah dua prinsip kehidupan yang saling melengkapi, saling tergantung, saling mempengaruhi, dan saling memberikan keharmonisan dalam setiap ruang hidup yang selalu berlawanan. Yin dan yang selalu diasosiasikan dengan prinsip feminim dan maskulin, lemah dan kuat, gelap dan terang, jatuh dan bangun, bumi dan langit, dan semacamnya.

Prinsip Yin-Yang juga merupakan suatu seni kehidupan. Seni ini terletak pada usaha menjaga keseimbangan yang satu dengan yang lain yang secara alami saling berlawanan. Alan Watts, yang menulis Tao: The Watercourse Way, buku yang saya baca sewaktu liburan kemarin, memahami prinsip ini sebagai suatu negasi dan bukan suatu kontradiksi atau konflik. Prinsip ini pada dasarnya selalu menyangkal yang lain dan tidak memerangi. Pokok relasi antara yin dan yang disebut sebagai hsiang sheng, suatu pola saling mengembangkan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Kedua hal ini saling mengisi. Di saat kita kekurangan unsur positif, unsur negatif dari Yin akan mengisi kekosongan. Begitu pula sebaliknya. Sebab segala sesuatu yang terlalu berlebihan tidak baik. Jadi harus diseimbangkan.

Dalam Injil, kita tadi mendengar mengenai penghakiman terakhir yang berujung pada hidup kekal. Dalam bacaan tersebut juga ada polaritas yaitu mengenai percaya dan tidak percaya, terang dan gelap, keselamatan dan kematian, dan hidup kekal dan hidup temporal. Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa yang percaya pada Allah akan mendapatkan hidup kekal.

Namun, dengan berdasar pada yin yang hidup itu tidak semudah seperti hitam atau putih. Kadang hidup kita berada dalam hitam dan kadang putih. Yang hitam dan yang putih ini bagi yin yang bukan saling bermusuhan atau saling perang, melainkan saling menyangkal demi memperbaiki diri, sesuai dengan prinsip hsiang sheng, satu dan yang lain saling mengembangkan bukan saling meniadakan. Kita tidak bisa menolak yang lain atau yang berbeda dari kita.

Hidup dalam harmony adalah hidup dalam keseimbangan yin yang. Harmoni bukan suatu struktur, melainkan suatu visi dan tujuan yang dijalankan dalam praxis hidup. Dengan menyadari adanya perbedan antara yang gelap dan terang kita diajak untuk semakin menyadari dengan rendah hati bahwa kita tidak bisa selamanya berada di atas, berada superior dari yang lainnya, selalu menjadi yang terbaik. Harmoni mengajak kita untuk berani melakukan hal-hal kecil dan kotor. Dalam kisah mengenai pohon tadi, pohon tersebut kadang dipakai untuk berteduh dari terik matahari atau dipakai sebagai background berfoto namun kadang ada yang melukai dengan memberi paku agar bisa mengantungkan sesuatu atau kadang harus dikecingi. Hidup dalam harmoni adalah berani menerima perbedaan, berani menerima yang berbeda dari kita, dan juga berani menerima kritik. Semuanya berjalan dalam proses yang saling mengembangkan. Tentunya demi keselamatan hidup kita, yaitu perjalanan menuju hidup yang kekal. Percaya bukan berarti selalu berada dalam terang, melainkan berani masuk dan diuji dalam gelap dan terang, dalam suka dan duka, dalam desolasi dan konsolasi.

Prinsip keseimbangan ini bukan hanya berarti bagaimana hidup kita, namun cara kita memandang hidup ini. Dengan kita memandang hidup ini dari berbagai aspek yang ada, maka kita akan bisa menikmati hidup dan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Makna dari simbol tersebut sangatlah mendalam jika kita dapat memahaminya.

Spiritualitas Timur I



Dalam perumpamaan, gadis-gadis itu dikategorikan dalam yang bijak dan yang bodoh. Banyak tafsir mengatakan bahwa kesepuluh gadis itu merepresentasikan dunia kita ini, ada orang bodoh dan ada orang yang bijak. Dan orang yang bijak dikatakan sebagai orang yang berjaga dan bersiap menyambut kedatangan Kristus. Jika dunia memiliki dua kategori ini, kita akan berada di mana? Kita sebagai orang bodoh atau sebagai orang bijak.

Dalam permenungan, saya tidak ambil pusing dengan kategori manusia yang bijak dan bodoh karena buat saya perumpamaan ini cukup aneh. Saya pribadi, yang tertarik dengan kebijaksanaan dari timur, melihat bahwa kebijaksanaan itu bukan perkara kita mempersiapkan atau berjaga-jaga. Kebijaksanaan itu berarti kita bertindak dengan membiarkan sesuatu berjalan dengan sendirinya. Biarkan sesuatu itu berjalan sesuai dengan (dlm bhs lao tzu) tao-nya. Yaitu dasar dari segala sesuatu, yang tak terkenali, tak terjamah, tak terdeskripsikan. Sesuatu yang ada namun tidak bisa disebut. Dalam tao te cing, persiapan itu akan membuat kita tidak sempurna atau tidak sampai pada kebijaksanaan. Kita diajak untuk masuk dalam kealamian dan kesederhanaan. Dikatakan oleh lao tzu, “ketika kita menggengam sesuatu, kita akan kehilangan. Ketika kita memaksa suatu proyek akan selesai, kita menghancurkan apa yang hampir matang.” Bertindak tanpa rencana atau memimpin tanpa mencoba mengontrol merupakan keutamaan tertinggi. Kebijaksanaan muncul ketika kita tidak memiliki apa-apa, tidak ada sesuatu yang dipegang, dicapai, dan dideskripsikan. Kita kembali pada tao, dasar dari segala sesuatu yang tidak terlihat.

Jalan Tao ini memang bisa dikatakan membingungkan. Seorang ahli taoisme mengatakan jalan tao ini dikatakan sebagai jalan yang negatif. Untuk sampai pada kesempurnaan, kita harus bersikap negatif, yaitu lemah, mengalah, dan menerima. Bukan mempersiapkan banyak hal, bahkan harus juga meninggalkan sesamanya, apa lagi yang bodoh dan tersingkir. Namun jalan ini merupakan jalan yang membuat orang aktif dan kreatif terus menerus, karena selalu mengarah untuk sampai pada tao, sesuatu yang tidak ada ujungnya itu, yang akan membuat seseorang makin utuh dan sempurna.

Kembali kepada injil, kebijaksanaan itu tidaklah mengarah pada kepentingan diri sendiri, menjadi egois, meninggalkan sesama kita. Kebijaksanaan terletak ketika menjadi lemah, menerima, dan mengalah. Membantu sesama kita yang bodoh dan yang bijak, termasuk orang yang sibuk dengan dirinya.

Akhirnya, bukannya ingin lepas dari konteks injil, dalam permenungan saya “cukuplah sudah dengan memikirkan sesuatu untuk berjaga-jaga, selesailah sudah memikirkan diri sendiri. Saatnya untuk bertindak demi sesama, demi dunia tanpa kenal lelah, tanpa mengharap balasan. Inilah kebijaksanaan.

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta