Wednesday, August 31, 2011

Spiritualitas Timur III


Dalam sebuah kebijaksanaan cina, harapan dan ketakutan adalah hal yang sama. Keduanya adalah momok, keduanya sama-sama memberatkan. Harapan dan ketakutan sama-sama keluar dari diri kita sendiri dan yang menjadikan harapan dan ketakutan itu menjadi sangat berat ataupun ringan adalah kita juga. Saya punya harapan untuk berhenti merokok sama saja ingin mengatakan saya takut mati muda. Saya punya harapan untuk lulus sekolah sama saja dengan mengatakan saya takut tinggal kelas. Pernyataan harapan dan ketakutan yang demikian hanya keluar dari diri seseorang yang sangat egois, hanya memikirkan diri sendiri. Harapan dan ketakutan dengan demikian hanya akan menjadi suatu lingkaran yang tidak akan pernah selesai. Lao Tzu, sang guru kebijaksanaan, mengatakan janganlah melihat diri sendiri. Lihatlah dunia, lihatlah sesama kita dan segala yang bagus di dunia ini dan kita bisa melakukan apa pada mereka. Kita berharap dengan tidak mementingkan diri kita sendiri. Kita berharap untuk suatu dunia yang harmonis sehingga kita tertantang untuk selalu berbuat baik, untuk semua orang. Ketika kita mulai melihat dunia sekeliling kita, harapan akan terus muncul dan ketakutan akan musnah. Kiamat datang? Siapa takut…..tema ini pada awalnya mengherankan buat saya dan membuat saya bertanya-tanya, Mengapa kita harus takut dengan kiamat? Kiamat datang, kita semua mau tidak mau harus menerimanya. Tidak ada toleransi, tidak ada pengecualian. Semuanya habis, hidupku dan hidup kita akan habis dan kita terpaksa menyerah. Kiamat, kita percaya, akan terjadi. Maka, tidak perlu takut dan harus kita tatap dengan optimisme karena kita akan mendapatkan hidup baru.

Bagi kita orang katolik, kiamat sering disebut dengan saat parousia. Yaitu saat kedatangan Kristus kembali dalam kemuliaanNya untuk mengadili dunia. Hari kiamat akan menjadi hari Tuhan dan pada waktu itu Kristus akan tampak untuk kedua kalinya. Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus berjaga-jaga dan menunggu dengan sabar dalam menantikan datangnya hari tersebut. Namun kapankah datangnya kiamat tersebut. Siapakah yang tahu, tidak ada dari kita pun yang tahu akan hari kiamat. Hanya Allah Bapa yang mengetahuinya. Yesus pun tidak mengetahuinya kapan datangnya kiamat tersebut.

Namun, ada berbagai dugaan bahwa berbagai masalah dan bencana yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah petanda kiamat. Benarkah itu? 2006 lalu kita mengalami gempa dashyat dan kini ada bencana merapi yang telah membunuh beribu-ribu harapan orang. Rumah, kebun, ternak, suami atau istri, anak-anak hangus karena terkena awan panas. Inikah kiamat? Bagi saya ini bukan kiamat karena dengan situasi seperti ini kita diajak untuk bergabung dengan sesama kita, bahu membahu, membangun dan saling menginspirasikan harapan-harapan baru untuk semakin yakin hidup bersama Allah. Bencana ini entah dikatakan kiamat atau bukan kiamat hendaknya membawa kita untuk bergerak dan melangkah, tidak diam saja karena takut. Bergerak bersama Allah muncul suatu solidaritas bersama yang menderita. Rm. Tom Jacobs pernah menyatakan bahwa kiamat adalah perkara untuk bersatu dengan Allah. Kiamat bukan berarti kehancuran yang membuat kita takut melainkan kebangkitan harapan dan kasih. Kiamat bukan bencana ini atau itu, melainkan habis semuanya dan tak seorangpun dapat menghindari bahwa hidupnya habis.

Kiamat kita sekarang ini bagi saya adalah menghindarnya kita dari solidaritas terhadap orang yang menderita. Habis rasa untuk bersolidaritas dengan sesama. Kristus telah datang ke dunia sebagai suatu bentuk solidaritas Allah terhadap dosa-dosa manusia. Maka, selayaknyalah kita juga berkerja bersama dalam solidaritas tersebut. Beberapa hari lalu saya pergi ke daerah di jalan solo dan pulangnya yaitu sekitar jam 8 malam, parkiran XXI jalan solo masih tetap padat. Artinya saya menyimpulkan bahwa banyak orang menonton bioskop dalam situasi seperti ini. Kemudian saya berpikir, apa yang dipikirkan mereka ketika ada bencana seperti ini di mana mereka masih memikirkan diri mereka sendiri. Yang kuat seharusnya menolong yang lemah dan menderita, itulah bentuk solidaritas. Yang kuat tidaklah menikmati segalanya demi diri sendiri. Bagi saya, inilah kiamat. Kiamat berarti matinya solidaritas kita, habisnya rasa kepedulian kita. Kiamat bukan meletusnya gunung merapi, melainkan makin banyak orang mengurus dirinya sendiri. Padatnya XXI hanyalah satu contoh dan saya pikir masih ada banyak contoh-contoh yang lain.

Yesus berkata, “waspadalah supaya kamu jangan disesatkan”. Percayalah pada Allah, percayalah pada imanmu karena jika “kamu tetap bertahan dalam imanmu, kamu akan memperoleh hidupmu”. Bangunlah solidaritas dengan sesama, bangunkanlah harapan-harapan orang-orang yang lemah dan menderita tersebut dengan uluran tangan kita. Inilah langkah atau gerak kita menghadapi kiamat, untuk hidup bersama Allah. Menghadapi kiamat kita harus penuh harapan, bukan dengan ketakutan.

Dalam sebuah kebijaksanaan cina, harapan dan ketakutan adalah hal yang sama. Keduanya adalah momok, keduanya sama-sama memberatkan. Harapan dan ketakutan sama-sama keluar dari diri kita sendiri dan yang menjadikan harapan dan ketakutan itu menjadi sangat berat ataupun ringan adalah kita juga. Saya punya harapan untuk berhenti merokok sama saja ingin mengatakan saya takut mati muda. Saya punya harapan untuk lulus sekolah sama saja dengan mengatakan saya takut tinggal kelas. Pernyataan harapan dan ketakutan yang demikian hanya keluar dari diri seseorang yang sangat egois, hanya memikirkan diri sendiri. Harapan dan ketakutan dengan demikian hanya akan menjadi suatu lingkaran yang tidak akan pernah selesai. Lao Tzu, sang guru kebijaksanaan, mengatakan janganlah melihat diri sendiri. Lihatlah dunia, lihatlah sesama kita dan segala yang bagus di dunia ini dan kita bisa melakukan apa pada mereka. Kita berharap dengan tidak mementingkan diri kita sendiri. Kita berharap untuk suatu dunia yang harmonis sehingga kita tertantang untuk selalu berbuat baik, untuk semua orang. Ketika kita mulai melihat dunia sekeliling kita, harapan akan terus muncul dan ketakutan akan musnah.
Harapan akan menjadi kekuatan jika kita berani melihat dunia, jika kita memiliki iman untuk berbuat. Kiamat adalah saat kita berharap, bukan untuk ditakuti.

Bangunlah solidaritas untuk sesama kita, dan tinggalkan keegoisan kita. Kiamat bukan saat memelihara diri sendiri melainkan melihat dunia dan semua yang bagus yang terjadi dan bergabung pada yang lain dan yang baru itu. Inilah tanggapan kita atas peristiwa yang menghabiskan hidupku dan hidup kita sebagai suatu bentuk pasrah. Kita punya iman, maka kita mesti berbuat.

Spiritualitas Timur II


Ketika membuat permenungan ini, saya teingat akan seorang teman yang menyimbolkan dirinya sebagai pohon. Aku adalah pohon yang memberikan kesegaran dalam hal udara segar dan kenyamanan dari orang2 yang mau berteduh dan relaksasi dengan pohon tersebut. Sepintas juga saya teringat akan pohon kehidupan, atau yang disebut dengan pohon kalpataru atau pohon kehidupan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya. Pohon KALPATARU menggambarkan suatu tatanan lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara hutan, tanah, air, udara, dan makhluk hidup atau hidup dengan harmonis.

Di sini saya ingin bicara mengenai harmoni dari lambang yin yang. Secara literer yin, memiliki arti sisi gelap dan sisi terang sebuah bukit. Bukit yang disinari matahari pada pagi dan siang hari akan memunculkan sisi terang dan gelap, sebuah polaritas. Yin dan yang adalah dua prinsip kehidupan yang saling melengkapi, saling tergantung, saling mempengaruhi, dan saling memberikan keharmonisan dalam setiap ruang hidup yang selalu berlawanan. Yin dan yang selalu diasosiasikan dengan prinsip feminim dan maskulin, lemah dan kuat, gelap dan terang, jatuh dan bangun, bumi dan langit, dan semacamnya.

Prinsip Yin-Yang juga merupakan suatu seni kehidupan. Seni ini terletak pada usaha menjaga keseimbangan yang satu dengan yang lain yang secara alami saling berlawanan. Alan Watts, yang menulis Tao: The Watercourse Way, buku yang saya baca sewaktu liburan kemarin, memahami prinsip ini sebagai suatu negasi dan bukan suatu kontradiksi atau konflik. Prinsip ini pada dasarnya selalu menyangkal yang lain dan tidak memerangi. Pokok relasi antara yin dan yang disebut sebagai hsiang sheng, suatu pola saling mengembangkan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Kedua hal ini saling mengisi. Di saat kita kekurangan unsur positif, unsur negatif dari Yin akan mengisi kekosongan. Begitu pula sebaliknya. Sebab segala sesuatu yang terlalu berlebihan tidak baik. Jadi harus diseimbangkan.

Dalam Injil, kita tadi mendengar mengenai penghakiman terakhir yang berujung pada hidup kekal. Dalam bacaan tersebut juga ada polaritas yaitu mengenai percaya dan tidak percaya, terang dan gelap, keselamatan dan kematian, dan hidup kekal dan hidup temporal. Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa yang percaya pada Allah akan mendapatkan hidup kekal.

Namun, dengan berdasar pada yin yang hidup itu tidak semudah seperti hitam atau putih. Kadang hidup kita berada dalam hitam dan kadang putih. Yang hitam dan yang putih ini bagi yin yang bukan saling bermusuhan atau saling perang, melainkan saling menyangkal demi memperbaiki diri, sesuai dengan prinsip hsiang sheng, satu dan yang lain saling mengembangkan bukan saling meniadakan. Kita tidak bisa menolak yang lain atau yang berbeda dari kita.

Hidup dalam harmony adalah hidup dalam keseimbangan yin yang. Harmoni bukan suatu struktur, melainkan suatu visi dan tujuan yang dijalankan dalam praxis hidup. Dengan menyadari adanya perbedan antara yang gelap dan terang kita diajak untuk semakin menyadari dengan rendah hati bahwa kita tidak bisa selamanya berada di atas, berada superior dari yang lainnya, selalu menjadi yang terbaik. Harmoni mengajak kita untuk berani melakukan hal-hal kecil dan kotor. Dalam kisah mengenai pohon tadi, pohon tersebut kadang dipakai untuk berteduh dari terik matahari atau dipakai sebagai background berfoto namun kadang ada yang melukai dengan memberi paku agar bisa mengantungkan sesuatu atau kadang harus dikecingi. Hidup dalam harmoni adalah berani menerima perbedaan, berani menerima yang berbeda dari kita, dan juga berani menerima kritik. Semuanya berjalan dalam proses yang saling mengembangkan. Tentunya demi keselamatan hidup kita, yaitu perjalanan menuju hidup yang kekal. Percaya bukan berarti selalu berada dalam terang, melainkan berani masuk dan diuji dalam gelap dan terang, dalam suka dan duka, dalam desolasi dan konsolasi.

Prinsip keseimbangan ini bukan hanya berarti bagaimana hidup kita, namun cara kita memandang hidup ini. Dengan kita memandang hidup ini dari berbagai aspek yang ada, maka kita akan bisa menikmati hidup dan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Makna dari simbol tersebut sangatlah mendalam jika kita dapat memahaminya.

Spiritualitas Timur I



Dalam perumpamaan, gadis-gadis itu dikategorikan dalam yang bijak dan yang bodoh. Banyak tafsir mengatakan bahwa kesepuluh gadis itu merepresentasikan dunia kita ini, ada orang bodoh dan ada orang yang bijak. Dan orang yang bijak dikatakan sebagai orang yang berjaga dan bersiap menyambut kedatangan Kristus. Jika dunia memiliki dua kategori ini, kita akan berada di mana? Kita sebagai orang bodoh atau sebagai orang bijak.

Dalam permenungan, saya tidak ambil pusing dengan kategori manusia yang bijak dan bodoh karena buat saya perumpamaan ini cukup aneh. Saya pribadi, yang tertarik dengan kebijaksanaan dari timur, melihat bahwa kebijaksanaan itu bukan perkara kita mempersiapkan atau berjaga-jaga. Kebijaksanaan itu berarti kita bertindak dengan membiarkan sesuatu berjalan dengan sendirinya. Biarkan sesuatu itu berjalan sesuai dengan (dlm bhs lao tzu) tao-nya. Yaitu dasar dari segala sesuatu, yang tak terkenali, tak terjamah, tak terdeskripsikan. Sesuatu yang ada namun tidak bisa disebut. Dalam tao te cing, persiapan itu akan membuat kita tidak sempurna atau tidak sampai pada kebijaksanaan. Kita diajak untuk masuk dalam kealamian dan kesederhanaan. Dikatakan oleh lao tzu, “ketika kita menggengam sesuatu, kita akan kehilangan. Ketika kita memaksa suatu proyek akan selesai, kita menghancurkan apa yang hampir matang.” Bertindak tanpa rencana atau memimpin tanpa mencoba mengontrol merupakan keutamaan tertinggi. Kebijaksanaan muncul ketika kita tidak memiliki apa-apa, tidak ada sesuatu yang dipegang, dicapai, dan dideskripsikan. Kita kembali pada tao, dasar dari segala sesuatu yang tidak terlihat.

Jalan Tao ini memang bisa dikatakan membingungkan. Seorang ahli taoisme mengatakan jalan tao ini dikatakan sebagai jalan yang negatif. Untuk sampai pada kesempurnaan, kita harus bersikap negatif, yaitu lemah, mengalah, dan menerima. Bukan mempersiapkan banyak hal, bahkan harus juga meninggalkan sesamanya, apa lagi yang bodoh dan tersingkir. Namun jalan ini merupakan jalan yang membuat orang aktif dan kreatif terus menerus, karena selalu mengarah untuk sampai pada tao, sesuatu yang tidak ada ujungnya itu, yang akan membuat seseorang makin utuh dan sempurna.

Kembali kepada injil, kebijaksanaan itu tidaklah mengarah pada kepentingan diri sendiri, menjadi egois, meninggalkan sesama kita. Kebijaksanaan terletak ketika menjadi lemah, menerima, dan mengalah. Membantu sesama kita yang bodoh dan yang bijak, termasuk orang yang sibuk dengan dirinya.

Akhirnya, bukannya ingin lepas dari konteks injil, dalam permenungan saya “cukuplah sudah dengan memikirkan sesuatu untuk berjaga-jaga, selesailah sudah memikirkan diri sendiri. Saatnya untuk bertindak demi sesama, demi dunia tanpa kenal lelah, tanpa mengharap balasan. Inilah kebijaksanaan.

Monday, November 23, 2009

MEMULAI HIDUP DARI ANGKA NOL ???


Pernakah memikirkan bagaimana kita memiliki agama, beriman, dan kemudian harus percaya kepada Allah karena katanya Allah memberikan hidup (keselamatan) dan kita harus, mau tidak mau, menghormatinya dan beribadah kepada-Nya? Allah adalah yang mahakuasa dan mahabesar dan kita manusia tidak mampu mengatasinya sehingga kita sendiri harus (terpaksa) percaya pada Dia. Jika kita mau selamat, kita harus tunduk pada Dia.


Pernyataan ini adalah keliru bagi orang katolik. Iman kristiani kita tidak semerta-merta percaya pada Allah yang kaku. Memang Allah mahabesar dan mahakuasa namun Ia tidaklah kaku dan kita tidak bisa berbuat sesuatu yang seenaknya dan perbuatan kita harus seturut kehendak-Nya. Allah adalah pribadi yang terbuka dan rahim sehingga ia menerima siapapun dan apapun manusia sehingga kita sendiri akan merasakan bagaimana uluran tangan Allah membuat kita lega dan akhirnya bersedia memberikan pengalaman ini kepada orang lain, yaitu dengan memberikan berbagai tindakan kasih kepada sesama. Iman akan Allah hadir dalam pengalaman personal kita.


Dalam paper ini, kami ingin mengungkapkan bagaimana iman merangkul kehidupan, belajar beriman dengan berani lewat pengalaman, yaitu berinteraksi dengan Allah sendiri (wahyu) yang memberikan pengalaman. Kami juga akan membahasakan bagaimana iman bisa sampai di zaman sekarang ini dan bagaimana bisa diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari, terutama bagi kaum muda yang sering terpeleset paham dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Di akhir kami akan memberikan epilog mengenai pengalaman iman seorang anak muda yang pernah mengalami putus asa.

Berbahasa Iman dalam Konteks
Ketika kita berbicara mengenai pokok perhatian dalam membina iman, pertama-pertama yang harus diperhatikan adalah konteks manusia yang sedang kita hadapi, dengan segala macam pergulatannya. Sebagaimana ketika membicarakan konteks iman di kalangan mahasiswa teknik. Di sana kita perlu mencoba membuat semacam pre-kesimpulan/anggapan dasar tentang pergulatan mahasiswa teknik. Misalnya kami beranggapan bahwa mahasiswa teknik dalam menghayati iman nya sangat boleh jadi mengalami kebingungan. Kebingungan mengenai apa sih iman itu? Apakah saya harus beriman? Beriman kepada siapa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi membuat mereka terus bergulat dan mengalami apa itu iman. Apakah iman itu sama dengan agama? Mungkin saja bagi mereka. Dalam situasi di mana orang mangalami tantangan dalam iman, mengalami kegagalan, keputus-asaan, kekecewaaan, stress, fatalitas dan lain sebagainya. Iman menjadi sangat dipertanyakan.


Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah iman berarti hanya menuntut Allah yang bertindak? Apakah Allah menjadi tempat manusia meletakkan beban dan melemparkan segala persoalan hidup? Bukan! Allah tidak berarti demikian. Kalau kita menganggap Allah seperti ini berarti kita memperalat Allah. Allah seolah-olah kita jadikan sarana pemuasan diri atau pemenuhan hasrat kita. Bukankah ini berati kita egois dan sombong? Memaksa Allah untuk mengikuti keinginan kita sementara kita acuh-tak acuh dan masa bodoh terhadapnya? Kalau seperti ini maka iman tidak mendapat artinya yang benar. Sia-sialah iman kita.


Kemudian dari beberapa pengandaian ini kami akan mencoba untuk merumuskan mana pokok perhatian dalam membangun iman. Bagi kami pengalaman pergulatan dengan berbagai macam kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan, sudah menjadi modal besar untuk berteologi. Pengalaman pergulatan merupakan acuan pertama ketika merumuskan pokok perhatian iman yang harus dibina. Dari pengalaman tersebut manusa mengarah pada kesadaran akan adanya yang transenden. Pengalaman yang ada kemudian direfleksikan secara lebih mendalam, akan kita temukan betapa pengalaman yang biasa tadi akan sangat bermakna. Kebermaknaan dari sebuah pengalaman karena adanya kontemplasi maupun refleksi akan mengantar orang pada sebuah keyakinan dan sebuah komitmen. Maka, pokok perhatian dalam membina iman pertama-tama adalah bagaimana mendeskripsikan apa pergulatan yang sedang dihadapi, pengalaman apa saja yang sering membuat mereka mengalami kebingungan dan bertanya akan sesuatu yang banyak orang yakin dan percaya bahwa itu ada. Maka dalam membina iman harus ada pengalaman iman manusia yang asli, yakni dalam liku-liku sejarah orang mengenal Allah bertindak, supaya orang dapat hidup sebagai rekan sekerja Allah. Iman adalah sikap pribadi dan peristiwa dalam jaringan sejarah, waktu tindakan Allah mendapat tanggapan manusia. Pengalaman akan membuktikan bagaimana iman yang menyejarah menjadi begitu kuat dalam mengatasi keraguan menanggapi zaman. Lewat pengalaman, iman adalah peristiwa hidup manusia dan peristiwa kehadiran Allah; pengalaman hidup iman ini digambarkan dalam beberapa cirri khas yaitu iman adalah otonom, menyelamatkan, suci, mutlak, dan kristiani.


Kemudian, lewat pengalaman itulah kita masuk dalam perkara iman atau mengenai iman seperti yang ada dalam Dei Verbum art. 5, “…manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak … dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya.” Kebenaran yang kita terima melulu dari Allah karena rahmat dan juga peranan Roh Kudus. Jadi dalam membina iman, manusia selalu terarah pada Allah karena juga manusia berasal dari Allah dan tidak bisa terpisah dari-Nya. Kita harus sampai pada sebuah kesetujuan atau penyerahan diri pribadi yang membuat pembinaan iman berdasar pengalaman itu menjadi benar-benar membangun dan mengembangkan.


Iman yang sesungguhnya berasal dari Allah dan sekaligus dari manusia. Dalam arti Allah yang menggerakkan manusia dengan rahmat-Nya sehinga mendorong manusia untuk melibatkan seluruh tanggung jawabnya secara merdeka pada proyek Allah. Jadi iman mengandaikan dua unsur yang aktif sekaligus yakni tindakan Allah yang aktif dan tindakan manusia yang juga aktif menanggapi tindakan rahmat Allah. Iman bagaikan Allah yang bermain kartu dengan manusia, lempar-melempar, uji-menguji. Maka dalam konteks pembinaan iman bagi orang zaman sekarang ini haruslah kontekstual. Status pengertian dasariah mengenai iman haruslah memberi arah bagi pembinaan yang mencerahkan dan menyegarkan.


Peranan Kristus yang wafat dan bangkit, yang memberikan teladan kesungguhan-Nya dalam mengabdi Bapa merupakan sesuatu yang khas dalam hidup sebagai seorang Katolik. Perjumpaan manusia dan Kristus yang seperti akan memberi warna pengertian pembinaan hidup sehari-hari dalam iman yang akan terasa perbedaannya dengan orang lain atau agama lain. Bentuk bisa saja sama, namun isi bisa berbeda dan inilah yang membedakan antara tindakan yang kristiani dan tidak. Teladan dari Kristus menjadikan manusia, umat-Nya merasakan kasih Bapa yang sungguh murni dan membuat manusia memiliki hasrat dan gerak batin yang sama dalam mempersembahkan hidup sehari-harinya. Perjumpaan dengan Kristus memberikan hidup pada manusia yang mudah lelah dan gampang menyerah. Kristus memberikan hasrat dan semangat untuk masuk dalam jerih payah dunia. Jerih payah Kristus dalam perjalanan salibnya, memberikan teladan untuk tetap fokus dan terarah pada Allah walaupun dunia di kanan dan kiri manusia sangat mengenakan dan penuh godaan. Tanpa hasrat tersebut kerja keras manusia akan sia-sia karena kerja keras manusia hanya akan menjadi sesuatu yang kosong dan hampa, tak ada isinya. Bersama Kristus, kerja keras manusia sampai pada tujuan hidupnya. Maka, situasi manusia di dunia ini adalah berkerja keras berinteraksi dengan Allah.


Manusia dalam menjalankan hal tersebut juga tidak bisa melewatkan rahmat yang sama yang ada dalam Kitab Suci. Kembali pada Kitab Suci dan meneruskannya memberikan kesaksian yang indah dalam peristiwa iman. Ilmu pengetahuan dan modernitas dunia sekarang ini atau segala bentuk interaksi manusia dengan Allah adalah jalan menuju Allah di mana manusia dalam pengabdiannya kepada Allah harus mau berkerja keras dan menjunjung tinggi nilai-nilai kristiani. Manusia yang berinteraksi tersebut adalah hasil dari sejarah iman dari rahmat atau Roh Kudus yang satu dan sama.

Epilog
Kisah yang ada dalam tulisan “Memulai Hidup dari Nol” adalah kisah mengenai iman yang menarik dewasa ini. Terutama berkaitan dengan orang muda yang saleh dan rahmat Allah yang tidak sesuai dengan keinginan-Nya. Penulis, Andre Sulistyo, memaparkan bahwa dirinya telah berusaha dalam doa yang saleh dan suci untuk mendapatkan pekerjaan, namun doanya tidak dikabulkan sampai satu saat ia sendiri menjadi seorang fatalistis. Enggan mau berdoa. Nampak bahwa saudara Andre berusaha pasrah melimpahkan kemauan dan cita-citanya pada Allah, sementara ia menunggu dalam kepasifan. Kegagalan yang ia rasakan semata-mata karena dirinya yang kurang mau membuka mata terhadap peranan rahmat dan Roh Kudus. Ia masih melihat dengan sebelah mata yaitu terus menerus meminta pada Allah, memaksakan kehendaknya dan tidak menyerahkan dirinya sehingga ia merasa hidup di mulai dari nol. Allah dijadikan sarana pemuasan diri atau pemenuhan hasrat manusia saja.


Saudara Andre sebenarnya memiliki kemampuan dan pengalaman yang asli yang belum ia sadari. Ia memiliki kemampuan akademik, kertampilan memelihara bunga, kepandaian menjalin relasi dengan rekan-rekan seusaha dan memiliki kemauan serta semangat yang kuat dalam berusaha, dan tentu masih banyak lagi. Kemampuan serta pengalaman-pengalaman asli ini bukan semata hasil usaha manusia, tetapi merupakan karunia-karunia Allah. Inilah awal insiatif atau interese Allah agar manusia mengambil bagian dalam hidup Allah karena Allah menghendaki manusia menjadi terlibat dalam kehendak dan bekerja keras dalam karya usaha ilahi. Saudara Andre pada awalnya belum sampai pada pengakuan pengalaman yang berasal dari Allah, pengalaman yang sambung menyambung dengan Allah lewat kesadaran kemampuan aslinya. Ia masih memihak pada dirinya.


Saudara Andre berpartisipasi dalam interaktif dengan Allah yang terwujud dalam mengaktifkan segenap kesanggupan pengalaman yang ada pada dirinya. Bertolak dari pemahaman ini jadi saudara Andre tidak memulai hidupnya dari nol. Sudara Andre membangun hidupnya atas dasar apa yang telah dikaruniakan Allah baginya. Saudara Andre mengatakan bahwa hidupnya mulai dari nol karena bertolak dari pemahaman yang keliru bahwa Allah yang harus Aktif berbuat sesuatu bagi manusia sementara manusia menantikan hasilnya. Sesungguhnya Allah aktif demikian pun manusia turut aktif.


Dalam bahasa iman, Allah dan manusia hidup dengan saling berinteraksi. Manusia dan Allah berbagi kehidupan yang satu dan sama di dalam dunia ini, juga dalam setiap perkembangan zaman atau kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sekarang ini. Dengan demikian, manusia dalam kemanusiaannya menjadi mitra Allah. Manusia dapat mengaktifkan kemampuannya untuk berani berinteraksi dengan Allah. Dalam berinteraksi dengan Allah atau dalam membina iman, pengalaman menjadi titik pijak yang penting.

John Courtney Murray


John Courtney Murray ( 12 september 1904 – 16 Agustus 1967). Teolog Jesuit. Ia lahir di kota New York. Ayahnya seorang pengacara, Michael John Murray.


Murray masuk Serikat Jesus tahun 1920. Setelah menyelesaikan filsafat di Boston Collage (BA 1926, MA 1927) ia mengajar Sastra Latin dan Inggris di Ateneo de Manila, Philippina. Tahun 1930, ia kembali ke Amerika untuk studi Teologi di Woodstock Collage, Maryland hingga 1934. Saat studi, 1933, ia ditahbiskan dan kemudian melanjutkan studi lanjut di Gregoriana University. Tahun 1937 dia menyelesaikan doktornya dalam sacred theology (STD) dengan spesialisasi doktrin rahmat dan trinitas. Setelah itu ia kembali ke Woodstock dan mengajar teologi Trinitas. Tahun 1941 dia menjadi editor jurnal Jesuit, Theological studies. Dia memegang dua perkerjaan ini hingga wafatnya, 1967. Ia menulis banyak buku dan salah satunya adalah yang kita pelajari sekarang ini “We Hold These Thruths” yang diterbitkan pada tahun 1960. Ide berteologi Murray, terutama tentang Gereja dan Negara, mengalami masalah, terutama dari para pemimpin Gereja, Alfredo Kardinal Octaviani, prefek Kuria Vatikan dan juga beberapa teolog dan orang katolik US. Dia dilarang mengajar dan menulis hingga 1950 karena idenya ini. Ide-idenya sangat modern dan akhirnya pada Konsili Vatikan II ia diundang dan memberikan kontribusi besar dalam dokumen Dignitatis Humane, 1965.

Dua isu dasar yang memunculkan permasalahan tentang kebebasan, menurut Murray, yaitu hakekat spiritual dari hidup bersama dan stuktur fundamental dari hidup bersama. Hakekat spiritual hidup bersama muncul dari konsep kristiani, res sacra homo, manusia itu suci, dan struktur fundamental hidup bersama bukan tentang masalah legal sipil, melainkan mengenai struktur ontologi bermasyarakat, sehingga aturan dasar bermasyarakat harus berasal dari refleksi, bukan semata teori. Dua isu dasar ini sangat umum dan selalu berkaitan dengan sifat dasar dan struktur realitas hidup bersama.


Permasalahan kebebasan, menurut Murray, sudah berkembang. Doktrin tentang kebebasan yang menyatakan bahwa pemerintah adalah musuh kebebasan sudah dihiraukan karena Gereja dan negara telah terpisah. Konsep modern ini dari kebebasan masihlah berbahaya karena modernitas mengabaikan sisi kebersamaan manusia. Modernitas hanya melihat kebebasan dari konteks tanggung jawab, keadilan, aturan, dan hukum, yang sebenarnya merupakan peripheral. Di sini modernitas masuk dalam dikotomi individualisme dan kolektivisme. Manusia di zaman sekarang ini sepertinya hanya akan mewujudkan mimpi cartesian padahal masalah utamanya adalah terputusnya mimpi karena tidak tahu Descates. Sehingga master dari dunia ini menjadi bukan diri manusia sendiri. Manusia telah kehilangan identitasnya padahal sebenarnya manusia adalah master dan pemilik alam ini.


Permasalahan ini akan mungkin diselesaikan jika kita melihat tradisi liberal dunia Barat, yang berkaitan erat dengan kristianitas. Pengalaman politik kebebasan merupakan usaha untuk menemukan dan memasukan ke dalam dunia pengganti yang lebih sekular dari tradisi kristiani.


Kebebasan beragama telah didiskusikan berabad-abad, terutama pada abad pertengahan. Ada konflik antara Gereja dan modernitas, tidak hanya suatu problem spirit (semangat kebebasan) melainkan juga politis. Usaha politis dari kekristenan adalah menghancurkan pandangan klasik tentang masyarakat senagai struktur yang satu dan sama dimana kekuatan politik berdiri tegak diantara agama dan sipil. Kaisar Augustus merupakan Summus Immperator dan juga Pontifex Maximus. Menurutnya “diluar kekaisaran tidak ada masyarakat sipil, yang ada hanya orang-orang barbar’.


Pandangan kristiani yang lebih baik adalah dari Gelasius I yang menyatakan bahwa harus ada pembedaan antara yang suci dan secular. Dia menulis kepada Kaisar Bizantium, Atanasius, 494, yang menyatakan ada “dua” yang mengatur hak original dan kedaulatan, yaitu concecrated authority of the priesthood dan the royal power. Pandangan Gelasius I ini oleh Alois Dempf, dalam Sacrum Imperium, disebut sebagai “Magna Charta” dari seluruh kebebasan dalam Gereja di abad pertengahan. Kebebasan dalam Gereja merupakan suatu partisipasi dalam kebebasan anak Allah yang berinkarnasi, Allah manusia, Kristus Yesus.


Dengan demikian, Murray, lewat pandangan Gelasius I, menegaskan akan adanya paham kebebasan baru dan ia menerangkannya dalam dua bagian, yaitu kebebasan Gereja dalam otoritas spiritual dan kebebasan Gereja sebagai orang-orang kristiani. Kebebasan Gereja dalam otoritas spiritual berkaitan dengan cura animarum, ada kebebasan untuk mengajar, mengendalikan, menyucikan. Namun kebebasan ini memiliki aspek negatif yaitu menjadikan Gereja kebal karena adanya suprapolitical sacredness dari segala politik negara. Dengan adanya otoritas spiritual, negara tidak bisa seenaknyan terhadap kehidupan bersama manusia. Manusia sebagai res sacra homo menemukan kebebasannya menuju keinginan sucinya. Manusia akan menemukan kebebasannya ketika ia menemukan imannya, di dalam Gereja. Gereja dengan demikian bisa mendampingi manusia hingga sampai pada kebebasannya dan ini tidak bisa diperoleh lewat negara.


Kebebasan Gereja sebagai orang-orang kristiani berkaitan dengan hidup menjadi kristen seperti mendapakan ajaran Gereja, mentaati aturan Gereja, menerima rahmat sakramen-sakramen, dan hidup bersama. Dengan paham ini Gereja bersikap netral karena berada di tengah politik pemerintah dan masyarakat sehingga Gereja bisa menawarkan tata hidup moral dan menjadikan negara selalu lebih baik. Manusia diajak untuk “berperang demi keadilan dan juga demi kebebasan semua orang”.


Murray menyatakan bahwa ini adalah dalil kristiani. Kebebasan Gereja dimengerti sebagai kunci dari Christian order masyarakat. Masalah kemudian dalam sejarah bahwa dalil ini kemudian tidak bertahan lama karena dalam masyarakat itu sendiri kebebasan dan keadilan dirusak oleh bangkitnya monarki-monarki nasional yang menjadikan dua hal ini menjadi satu, diurus oleh raja, yang absolut.


Kunci untuk bangunan politik yang baru ini adalah kebebasan hati nurani perorangan. Di sini kepercayaan sangat dibutuhkan. Percaya, hati nurani seseorang yang bebas, secara efektif dapat menegahi imperatif moral dari transendental order of justice. Inilah yang akan membawa manusia pada tindakan moral sehari-hari. Hati nurani manusia yang bebas merupakan otoritas spiritual yang penuh kuasa yang darinya selalu muncul praksis moral. Ini akan membawa manusia pada kesuciannya. Dengan demikian, apa yang dimaksud Gelasius I dapat berjalan karena ada pemisahan antara Gereja dan negara. Manusia ataupun masyarakat dapat merasakan kejelasan hidup, yaitu antara hidup untuk yang benar, untuk bonnum commune, dan ketertiban umum, public order. Gereja dan negara saling terpisah dan juga saling membantu dalam membangun masyarakat yang modern. Namun, yang menjadi fokus utamanya adalah masyarakat. Manusia tidak akan dibingungkan dengan siapa yang harus mereka taati, Gereja atau negara. Adanya kristianitas bukan untuk mempersulit hidup bermasyarakat karena muncul satu pemimpin selain negara. Pemisahan ini harus ada karena status ontologis yang berbeda antara negara dan Gereja terhadap masyarakat.


Permasalahan yang pernah terjadi karena tidak ingin ada campur tangan dari Gereja. Kerajaan menjalankan monarki absolut di mana raja/kaisar adalah sekaligus pemimpin sipil dan spiritual. Paham ini tidak lagi dua, melainkan satu. Mulai abad 17 paham satu mulai berkembang dengan model kerajaan absolut dan pada abad 20 pandangan Gelasius tidak lagi dianggap. Yang ada adalah masyarakat yang satu. Hukum, otoritas, intelektual, agama, dan moral diurus negara.
Marx juga menyatakan hal yang sama di mana ia menolak peranan Gereja dalam hidup bermasyarakat. Menurutnya negara dan Gereja selalu berbenturan dan akan selalu memperburuk keadaan. Menurutnya, sesuai yang dikutip Hocking, hanya satu yang memerintah dunia ini.


Dengan demikian, yang ada adalah satu masyarakat, satu hukum, dan dengan satu kekuasaan, masyarakat yang sama. Modernitas telah membuat paham Gelasius ini heresi dan tidak digunakan lagi. Gambaran masyarakat demokratis menjadi satu dalam struktur dan sekular dalam substansinya. Hal ini merupakan hasil dari modernitas politis. Tentu saja, bagi Murray ini mengherankan karena Gereja, lewat Gelasius, berjuang untuk memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak dalam masyarakat. Negara bukanlah masyarakat, negara hanya sebagian dari masyarakat sehingga, menurut Murray, tidak boleh menjadi satu.


Dengan modernitas sekarang ini, hidup bermasyarakat menjadi sulit. Manusia hanya ikut negara dan bukan ikut dirinya sendiri. Komunisme makin mempersulit keadaan karena menuntut satu dengan negara. Komunisme telah membalik paham Gelasius. Paham kebebasan dan keadilan ikut paham negara, bukan berangkat dari diri manusia, hati nuraninya.


Namun yang terjadi, dalam negara modern, paham satu ini terbukti impoten. Nilai bersama, pendidikan, kontrol ekonomi, moralitas umum, keadilan dan hukum telah terbukti tidak kompeten karena manusia menjalankan semua ini karena urusan negara, secular. Tidak berkaitan dengan nilai transendental manusia. Yang memang dibutuhkan adalah motivasi diri manusia untuk self-ruled, self-contained, dan self motivating. Inilah peranan Gereja dalam memberikan kebebasan pada manusia sehingga hal-hal moral/praktis hidup sehari-hari menjadi lebih bernilai dan bermakna, muncul dari diri manusia sendiri. Manusia memiliki kesadaran untuk yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat karena sisi transendentalnya.


Namun, Murray merasakan adanya kerancuan. Menurutnya modernitas hanya menolak kebenaran dari wahyu ilahi, yang merupakan sisi esensial Gereja. Romano Guardini juga menyatakan hal yang sama bahwa ada pnghianatan dari struktur eksistensial suatu realitas yang berasal dari Gereja. Modernitas sebenarnya tidak menolak apa yang diajarkan Gereja, yaitu mengenai nilai-nilai moral, individual dan sosial. Setidaknya paham res sacra homo masih bergema dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai ini telah menjadi imanen dalam diri manusia dan bahkan telah menjadi milik manusia. Kristianitas dalam modernitas mungkin tidak kelihatan namun penampakan daya tariknya menjadi sesuatu yang dinamis dalam kebebasan dan keadilan di dunia ini. Res sacra homo kini berada dibawah patron baru, modernitas.

Doa Air Ignatius

St. Ignatius pelindung agung,
Tatkala engkau masih hidup di dunia ini, St. Filipus Neri, murid dan sahabatMu mengatakan bahwa Engkau akan menjadi pelindung istimewa para ibu dan mereka akan engkau berkati pada waktu melahirkan anak, jika mereka mohon perlindunganmu. Perkataan santo yang mulia itu sudah dibenarkan secara mengagumkan dan setiap hari terbukti kebenarannya. Sebab itu, kami pun, dengan penuh pengharapan memohon kepadamu, sudilah memohonkan kepada Tuhan, supaya anak kami boleh lahir dengan selamat. Ya santo yang berkuasa dan penuh kasih sayang, janganlah mengecewakan pengharapan kami. Engkau tahu bahwa harapan kami hanya satu, yakni mendidik anak kami untuk Tuhan, jika dikaruniakan Tuhan kepada kami. Kami serahkan anak kami, supaya seumur hidup-nya, ia tetap setia mengabdi kepada Tuhan dan memuji serta memuliakan namaNya selamanya. Kabulkanlah doa kami agar kami boleh menerika karunia itu.
Sekarang kami berjanji, agar anak yang dikaruniakan Allah kepada kami ini, akan kami persembahkan kepada Hati Yesus yang Mahakudus, dan kami letakkan di bawah perlindunganMu sebagai bapa. Semoga anak ini mengukuhkan janji setia perkawinan kami, agar kami bersama seluruh keluarga senantiasa memuliakan Allah sepanjang segala masa.
St. Ignatius, doakanlah kami. Amin.

--Doa St. Ignatius (Ambilah dan Terimalah/Jiwa Kristus), diakhiri dengan doa Bapa Kami, kemudian, air dimunum--

Thursday, September 10, 2009

St. John de Britto


John de Brito (João de Brito, 1647-1693) was one of the earliest Jesuit missionaries in India to adopt elements of the local culture in his evangelization. He was eventually martyred because of his success and his steadfast refusal to accept honors and safety. He was born of Portuguese aristocracy and became a member of the royal court at age nine and a companion to the young prince later to become King Peter II. When de Brito was young, he almost died of an illness and his mother vowed he would wear a Jesuit cassock for a year if he were spared. He regained his health and walked around court like a miniature Jesuit, but there was nothing small about his heart or the desire that grew to actually become a Jesuit. Despite pressure from the prince and the king, he entered the Jesuit novitiate in Lisbon Dec. 17, 1662 when he was only 15 years-old. He studied classics, with an interruption because of health problems, then philosophy. He wrote to the superior general in 1668 asking to be sent to the east as a missionary, but had to finish theology first. He was ordained in February 1673 and left Lisbon for Goa in mid-March, arriving the following September. He studied more theology in Goa and was asked to remain as a teacher but he desired to be a missionary and to seek the glory of martyrdom.Father de Brito worked in Madura, in the regions of Kolei and Tattuvanchery. When he studied the India caste system, he discovered that most Christians belonged to the lowest and most despised caste. He thought that members of the higher caste would also have to be converted for Christianity to have a future. He became an Indian ascetic, a pandaraswami since they were permitted to approach individuals of all castes. He changed his life style, eating just a bit of rice each day and sleeping on a mat, dressing in a red cloak and turban. He established a small retreat in the wilderness and was in time accepted as a pandaraswami. As he became well-known, the number of conversions greatly increased.

He was made superior in Madura after 11 years on the mission, but he also became the object of hostility from Brahmans, members of the highest caste, who resented his work and wanted to kill him. He and some catechists were captured by soldiers in 1686 and bound in heavy chains. When the soldiers threatened to kill the Jesuit, he simply offered his neck, but they did not act. After spending a month in prison, the Jesuit captive was released. When he got back to Madura, he was appointed to return to Portugal to report on the status of the mission in India. When he reached Lisbon ten months later, he was received like a hero. He toured the universities and colleges describing the adventurous life of an Indian missionary. His boyhood friend and now-king, Peter II noticed how thin, worn and tired his friend looked; he asked him to remain at home to tutor his two sons, but de Brito placed the needs in India above the comfort of the Portuguese court.

De Brito sailed again to Goa and returned to the mission in Madura when he arrived in November 1690. He came back despite a death threat that the raja of Marava had made four years earlier. The Jesuit missionary travelled at night from station to station so he could celebrate Mass and baptize converts.

His success in converting Prince Tadaya Theva indirectly led to his death. The prince was interested in Christianity even before the prayers of a catechist helped him recover from a serious interest. De Brito insisted that the prince could keep only one of his several wives after his baptism; he agreed to this condition, but one of the rejected wives complained to her uncle, the raja of Marava who sent soldiers to arrest the missionary on January 28, 1690. Twenty days later the raja exiled de Brito to Oriyur, a neighboring province his brother governed. The raja instructed his brother to execute the troublesome Jesuit who was taken from prison on February 4 and led to a knoll overlooking a river where an executioner decapitated him with a schimitar.

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta