Monday, April 20, 2009

PERKAWINAN: Budaya Betawi dan Agama Hindu


“Buke Palang Pintu”
Dalam upacara perkawinan di Betawi, ada prosesi yang di kenal dengan “Buke Palang Pintu”. Upacara ini ditujukan untuk mempelai pria “tuan mude” yang akan mengambil mempelai wanita “tuan putri” menjadi istrinya. Usaha mengambil “tuan putri” ini tidak mudah karena di pintu masuk rumah “tuan putri” ada sekelompok jagoan silat menghalangi usaha “tuan mude” atau menjadi palang perkawinannya. Namun, “tuan mude” juga membawa sekelompok jagoan silat sendiri untuk melawan mereka atau untuk membuka palang tersebut. Dialog di depan pintu diucapkan dengan pantun dan kemudian dilanjutkan dengan adu silat antar kelompok “tuan mude” dan “tuan putri”. Prosesi tersebut menyimbolkan upaya keras mempelai laki-laki untuk menikah dengan sang pujaan hati. Uniknya, setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria. Seluruh dialog prosesi ini dilakukan dengan berpantun oleh perwakilan masing-masing mempelai dan diiringi rebana ketimpring. Jika “palang” pintu atau pertarungan silat sudah terbuka atau dimenangkan oleh pihak pria, acara berlanjut ke pelaksanaan akad nikah. Setelah itu, pihak laki-laki akan memberikan seserahan yaitu roti buaya yang melambangkan kesetiaan abadi, sayur-mayur (pala, kapur, pinang), uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian. Barang-barang tersebut melambangkan pahit, getir, dan manisnya kehidupan berumah tanggaDalam upacara “Buke Palang Pintu”, orang Betawi ingin mengatakan bahwa laki-laki yang kuat dan perkasa adalah laki-laki yang pantas menjadi seorang suami. Kuat dan perkasa tidak hanya dilihat dari sisi fisik, namun juga dari sisi materi atau kemapanan keluarga. Dengan konsep perkawinan ini, pihak perempuan menggambarkan bahwa tidak bisa begitu saja memberikan anaknya namun harus memberikan berbagai halangan kepada sang lelaki. Kemenangan dari pihak laki-laki merupakan simbol kekuatan bahwa tidak ada yang mampu menandingi kekuatan dia sehingga dia mampu melindungi sang perempuan dengan baik. Ini juga simbol dari kemapanan keluarga laki-laki karena keluarganya mampu membawa orang-orang terbaiknya sehingga mendapatkan kemenangan. Mampunya menghadirkan atau membentuk orang-orang terbaiknya merupakan tanda bahwa keluarga sang laki-laki sudah mapan dalam hal sandang, pangan, dan papan.

“Grhasta Asrama”
Perkawinan bagi umat Hindu juga merupakan jalan menuju keselamatan. Perkawinan bagi mereka adalah sesuatu yang sakral, yaitu untuk mewujudkan Catur Asrama, empat tujuan hidup manusia yaitu Brahmacari untuk mewujudkan Dharma, Grhasta untuk mewujudkan Artha dan Kama, Wanaprasta dan Sanyasa untuk mewujudkan Moksa. Perkawinan adalah upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tujuan pokok perkawinan adalah "Yatha sakti Kayika Dharma" atau “dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma”. Juga ada dua tujuan lain yang harus dilaksanakan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.

Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral. Pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, kecocokan pasangan. Hasil pandangannya akan menentukan apakah pasangan ini diperbolehkan kawin atau tidak. Jika tidak boleh, pasangan harus berpisah dan mencari lagi pasangan hidupnya yang cocok. Setelah ada kecocokan, pasangan Hindu ini dapat melangsungkan upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan kedua mempelai. Upacara ini merupakan simbol proses penyucian, untuk menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita. Upacara ini mampu menetralisir kekuatan kala yang bersifat negatif menjadi Daiwi Sampad (mutu kedewaan). Harapan dengan perkawinan ini, amak yang akan dilahirkan akan memiliki sikap dan keutamaan yang baik yang sepadan dengan dewa.

Perkawinan Hindu pada hakikatnya adalah suatu yadnya untuk memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali memperbaiki karmanya. Dengan menjelma menjadi manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya.
Dengan kata lain, perkawinan dalam agama Hindu mengarah pada penyucian, yaitu penyucian yang untuk kedua mempelai dan anaknya kemudian dan juga untuk leluhur. Konsep keselamatan dalam hal ini sangat riil yaitu umat Hindu mengharapkan keturunan yang akan dihasilkan menjadi lebih baik dari yang sekarang ini. Keturunan yang baik menandakan adanya kuasa dewa atau yang ilahi dalam mendampingi dan membimbing umat Hindu. Baiknya keturunan juga mau menandakan proses pertobatan sang leluhur untuk memperbaiki hidupnya di dunia yang lalu.

Refleksi
Dari dua upacara perkawinan ini, “Buke Palang Pintu” dalam budaya Betawi dan “Grhasta Asrama” dalam agama Hindu, dapat dilihat perbedaan yang sangat mencolok, padahal sama-sama berbicara tentang perkawinan. Budaya betawi lebih mengarah pada kekuatan dan keperkasaan seseorang pria di mana sang perempuan tidak kentara kehadirannya. Dalam agama Hindu, perkawinan adalah jerih payah sang laki-laki dan perempuan dalam menyucikan diri di dunia ini, penyucian untuk dirinya sendiri, keturunannya, dan leluhurnya.
Dalam budaya Betawi, konsep keselamatan adalah terciptanya kondisi mapan, puas, bahagia, dan kuat perkasa. Lewat berbagai hal ini, orang Betawi percaya bahwa hidupnya akan baik dan penuh berkat. Kesengsaraan dan kelemahan adalah tanda tidak selamat bagi mereka. Namun keselamatan bagi orang Betawi tidak dapat begitu saja diterima atau cuma-cuma. Keselamatan adalah hal yang diusahakan dan dipersiapkan jauh hari sebelumnya, di mana kekerasan atau seni bela diri dapat digunakan untuk mewujudkan keselamatan tersebut. Keselamatan hanya bisa diwujudkan oleh pihak laki-laki. Pihak perempuan hanya menerima efek dari keselamatan yang diwujudkannya itu.

Dalam agama Hindu, konsep keselamatan adalah mewujudkan sikap dan sifat yang baik di dunia, baik untuk dirinya sendiri, keturunannya, dan leluhurnya. Dalam perkawinan Hindu ada tiga harapan yang mau diraih di mana harapan tersebut merupakan ungkapan konsep keselamatan umat Hindu secara riil. Harapan yang pertama adalah untuk pemuliaan sang ilahi di mana manusia di minta untuk mewujudkan tugasnya di dunia, yaitu mewujudkan Catur Asrama. Perkawinan adalah salah satu bagian dari Catur Asrama, yaitu Grhasta untuk mewujudkan Artha dan Kama. Pemenuhan Artha dan Kama harus dijalankan secara dewasa, yaitu demi kebenaran dan kebajikan. Harapan keselamatan yang kedua adalah keturunan yang baik lewat pasangan yang memang cocok. Lahirnya keturunan yang baik menandakan bahwa sang ilahi masih memberikan berkatnya di dunia. Yang ketiga adalah menolong leluhur, dalam penjelmaannya, untuk mempertobatkan dirinya dengan melakukan dengan lebih baik segala tugas manusia di dunia. Lewat satu upacara ini, berbagai penyucian dilakukan. Dengan perkawinan, kesucian ditonjolkan dan keselamatan dicapai. Perwujudan keselamatan dilakukan secara bersama-sama, baik pihak laki-laki maupun perempuan. Perempuan memiliki peranan yang sama dengan laki-laki dalam menghadirkan keselamatan.

Lewat pemahaman dua konsep keselamatan ini, dilihat dari upacara perkawinan, saya pribadi tidak bisa berkata banyak. Mereka memang berbeda dan tidak bisa begitu saja disamakan. Perkawinan dalam budaya Betawi dan agama Hindu merupakan dua konsep yang berbeda, begitu juga dengan konsep keselamatannya. Mereka semua memiliki jalannya sendiri. Keselamatan ditawarkan tidak hanya oleh agama, melainkan juga oleh budaya setempat. Keselamatan mengungkapkan sesuatu yang riil, yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Perbedaan yang ada merupakan karunia. Kesamaan yang muncul dalam setiap agama dan budaya mencoba mengusahakan kehidupan yang lebih baik. Keadaan utuh-lengkap, bahagia, mapan, dan puas merupakan rasa yang ingin dicapai. Lewat berbagai upacara perkawinan yang berbeda, orang Betawi maupun umat Hindu, sama-sama mengharapkan munculnya situasi atau keadaan yang lebih baik dari keadaan mereka sekarang ini dan di masa lalu.

No comments:

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta