Monday, April 20, 2009

PRANATA MANGSA


Pranata Mangsa atau pengaturan musim adalah suatu sistem penanggalan pertanian di Jawa yang merupakan hasil dari pengamatan dan pengalaman mengakrabi dan menanggulangi kekuatan alam dan budaya. Penanggalan ini mendasarkan diri pada tahun surya (365 hari). Konon, penanggalan ini diwarisi turun temurun dan kemudian dibakukan oleh Sri Susuhunan Paku Buwana VII di Surakarta, pada tanggal 22 Juni 1855. Dengan adanya Pranata Mangsa, orang-orang menjadi memiliki pedoman yang jelas untuk bertani, berdagang, menjalankan pemerintahan dan keserdaduan. Salah satu contohnya adalah kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Panjang, dan Mataram Islam meraih keberhasilan dan keagungannya dengan menggunakan penanggalan ini dalam berperang dan mempertahankan diri. Dengan Pranata Mangsa, petani menjadi memiliki pegangan. Manusia memiliki peran serta untuk ikut prihatin dan berharap bersama siklus alam, yang memang secara teratur berjalan dalam kekurangan dan kelimpahannya, kering dan segarnya, kemarau dan hujannya. Manusia dibantu berhemat dan berprihatin ketika alam berada dalam kekurangannya dan mereka boleh bergembira dan berpesta ketika alam mengantar mereka masuk dalam kelimpahannya. Mereka menjadi mengerti bagaimana mengatur ekonomi keluarga dengan menjalin keputusasaan dan harapan yg tidak dapat dipisahkan dari situasi alam yang memang harus berjalan dari kekurangan menuju kelimpahan, dari kekeringan menuju kesuburan, dari paceklik menuju panenan. Alam adalah teman, bukan lawan sehingga harus akrab dan bukan untuk ditaklukan. Teman adalah tempat untuk menumpahkan harapan, tetapi juga mengungkapkan keputusasaan. Harapan di sini bukan khayalan. Panen adalah harapan yang menjadi nyata. Manusia harus berjaga-jaga dan waspada agar panenan berhasil. Kewaspadaan adalah tuntutan dari kesabaran.

Pranata Mangsa terdiri dari empat musim dan 12 mangsa yaitu musim katiga (kasa, karo, katelu), labuh (kapat, kalima, kanem), rendheng (kapitu,kawolu, kasanga), dan mareng (kasapuluh, destha, dan saddha). Setiap mangsa tersebut memiliki watak masing-masing, walaupun watak tersebut jika berada dalam satu musim tidak terlalu jauh perbedaannya. Misalkan pada musim ketiga, mangsa kasa dan karo sama-sama memiliki curah hujan yang rendah karena sama-sama berada di masa terang yang biasanya kering.

Untuk lebih jelasnya, pembagian mangsa dalam satu tahun adalah sebagai berikut. Mangsa kasa (22 juni – 1 ags) berada pada masa terang. Masa ini jatuh ketika Matahari ada di Zenit utk garis balik utara bumi yaitu tanggal 22 juni. Masa ini berlangsung selama 41 hari. Gejala alam yang muncul adalah daun-daun berguguran dan bintang beralih. Kondisi meteorologisnya adalah sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4°C. Manusia di masa ini merasa ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuacanya terang. Sotya Murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan) adalah watak mangsa ini.

Mangsa kedua adalah mangsa karo (1 ags -24 ags). Mangsa ini berada di musim paceklik atau puncak dari musim ketiga (masa terang di mana hawa menjadi panas). Pada masa ini manusia mulai resah, karena suasana kering dan panas, rasanya bumi seperti sudah merekah. Watak mangsa ini bantala rengka (tanah retak). Curah hujan pada masa ini turun menjadi 32,2 mm. Lamanya mangsa ini lebih sedikit dari mangsa karo, yaitu 23 hari. Mangsa Katelu (25 Ags – 17 sep) memiliki watak Suta manut ing bapa (anak menuruti ayah). Mangsa ini juga masuk musim ketiga. Tak ada yg dapat dibuat manusia kecuali pasrah sambil berharap semoga masa ini segera berakhir. Gejala yang dialami adalah sumur mengering dan angin berdebu. Namun curah hujan naik pada masa ini naik menjadi 42,2 mm. Masa ini berlangsung selama 24 hari.

Waspa kemembeng jroning kalbu (airmata tersimpan dalam hati) adalah watak dari mangsa Kapat (18 sep – 12 okt). Jatuh pada musim labuh. Pada masa ini kemarau berakhir. Kondisi meteorologisnya adalah sinar matahari 72%, lengas udara 75,5 %, curah hujan 83,3 mm, suhu udara26,7°C. Masa ini berlangsung selama 25 hari. Manusia di masa ini masih harus menunda kegembiraannya, ia masih menunggu sampai semua kesedihan dan kekeringan sungguh berlalu. Walaupun curah hujan pada masa ini sudah naik, namun mangsa ini disebut sebagai mangsa semplah atau mangsa putus asa.

Pada mangsa selanjutnya manusia mulai diliputi sukacita atas kesegaran air hujan yg turun dari langit seperti pancuran mas membasahi bumi. Mangsa ini adalah mangsa Kalima (13 okt – 8 nov). Watak mangsa ini adalah pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran mas berhamburan di bumi). Curah hujan naik pada mangsa ini naik menjadi 151,1%. Gejala pertama mangsa ini adalah turunnya hujan yang tidak begitu deras. Mangsa ini berlangsung selama 27 hari.

Dalam mangsa Kanem (9 nov – 21 des) alam mulai menghijau dan hati manusia merasa tentram. Manusia diundang untuk ikut merasakan kesucian di mana watak mangsa ini rasa mulya kasucen (rasa mulia yang berasal dari kesucian). Mangsa ini berada pada musim udan. Curah hujan menjadi tinggi yaitu 402,2 mm. Lamanya mangsa ini adalah 43 hari.

Mangsa selanjutnya adalah mangsa yang berbalikan dengan mangsa kasa. Pada mangsa ini matahari ada di zenit garis balik selatan bumi (22 desember). Ini adalah mangsa Kapitu (22 des – 2 feb). Mangsa ini berada pada musim rendheng atau puncak dari musim udan. Watak mangsa ini adalah wisa kentar ing maruta (bisa terbang tertiup angin). Sinar matahari menjadi 67%, lengas udara 80%, curah hujan 501,4 mm, suhu udara 26,2 %. Musim ini dikenal juga sebagai musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan adanya banjir. Alam pada masa ini kelihatan kurang bersahabat namun sesungguhnya sedang menyimpan berkah panen yang sedemikian kaya. Gejala yang sering dialami adalah musim kawin binatang-binatang dan hujan besar yang disertai kilat. Mangsa ini berlangsung selama 43 hari.

Mangsa Kawolu (3 feb – 28 feb) adalah mangsa pengarep-arep. Mangsa penuh harapan. Kendati awan selalu berawan dan kilat terus menyambar semasa hujan, manusia tidak merasa diliputi rasa takut karena di balik itu kehendak manusia terasa menyegar bersama turunnya hujan yang dahsyat. Watak mangsa ini adalah anjrah Jroning kayun (sesuatu sedang merebak di dalam kehendak). Curah hujan turun pada masa ini turun menjadi 371,8 mm. Hujan menjadi tidak terlalu berbahaya lagi dan masa ini berkisar 26/27 hari.

Mangsa selanjutnya adalah mangsa kasanga (1 mar – 25 mar). Pada mangsa ini kulit manusia menjadi peka terhadap penyakit. Watak mangsa ini adalah wedare wacana mulya (keluarnya sabda mulia). Mangsa ini berlangsung selama 25 hari di mana curah hujan turun menjadi 252,5 mm. Gedhong minep jroning kalbu (gedung tertutup dalam hati) adalah mangsa Kasapuluh (26 mar-18 apr). Sinar matahari menjadi 60%, lengas udara 74%, curah hujan 181,6 mm, suhu udara 27,8°C. Gejala yang muncul adalah awal perkembangbiakan atau masa di mana binatang bertelur dan berabak. Pada masa ini orang mudah lesu dan pusing karena sebentar lagi mau musim kemarau.

Sotya sinarawedi (intan yg diasah) adalah watak dari mangsa ke sebelas atau mangsa dhesta (19 apr – 11 mei). Jatuh pada musim panen. Curah hujan menurun menjadi 129,1 mm. Gejala yang kerap dialami adalah burung-burung mulai menetas, alam dalam hal ini mulai menunjukan daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah lagi, kendati kemarau sudah diambang mata. Mangsa ini berlangsung selama 23 hari. Mangsa yang terakhir adalah mangsa saddha (12 mei – 21 juni). Mangsa ini memiliki watak tirta sah saking sasana (air lenyap dari tempatnya). Jatuh pada musim terang. Curah hujan pada masa ini naik menjadi 149,2 mm. Hujan mulai sungguh habis dan kemarau mulai tiba. Masa ini juga termasuk mangsa yang panjang, yaitu selama 41 hari.

Demikianlah mangsa-mangsa ini terjadi dan memperkaya kehidupan dan perkembangan masyarakat di jawa. Adanya sistem mangsa bisa dikatakan sebagai suatu penghormatan dan apresiasi pada bumi dan alam tempat manusia hidup dan berada. Bumi dengan sistem mangsa ini tidaklah diperlakukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Bumi disebut sebagai ibu atau pertiwi karena bumi telah melahirkan manusia dan memberikan apa yang mereka butuhkan sehingga mereka dapat berada seperti sekarang dan mempunyai apa yang dimiliki sekarang. Oleh karena itu, manusia tidak bisa dilepaskan dari bumi. Manusia membutuhkan sistem alam untuk dapat bersatu dengan bumi demi kelancaran dan kesejahteraan hidupnya. Bumi atau alam adalah tempat manusia berasal. Alam juga ibu yang memberi makan, mendukung, menuntun, dan menunjukkan jalan pada manusia. Manusia dan bumi tidak bisa saling mengasingkan, tetapi saling memberi. Inilah rahasia mengapa petani Jawa dapat mempertahankan hidupnya, kendati segala kesulitan telah membuat mereka menderita.

No comments:

Ada pendampingan Narkoba di Taman Pintar, Yogyakarta